Muslim Eropa Menghadapi Tantangan Masa Depan

Kehidupan Muslim di Eropa ternyata tidak lebih baik dibandingkan Muslim yang tinggal di Amerika. Negara-negara Eropa masih memandang sebelah mata keberadaan warga Muslim, meski warga Muslim itu menunjukkan loyalitas pada negara tempat mereka tinggal.

Polling yang dilakukan oleh lembaga survei Gallup menunjukkan bahwa Muslim di Eropa merasa masih diasingkan karena akses mereka ke sektor pendidikan maupun lapangan kerja masih sangat dibatasi. Polling dilakukan di 27 negara Eropa mulai bulan Juni sampai Juli tahun 2008 kemarin. Masing-masing negara diambil 500 orang responden. Tujuan polling, untuk mengetahui sejauh mana integrasi warga Muslim di Eropa.

Direktur Eksekutif Gallup Centre for Muslim Studies, Dalia Mogahed mengatakan bahwa hasil polling itu menunjukkan bahwa asumsi-asumsi tentang Muslim dan integrasi belum mencapai sasaran. Muslim di Eropa ingin menjadi bagian dari masyarakat dan memberikan kontribusinya, tapi mereka masih diperlakukan diskriminatif.

Dari hasil polling, 38 persen responden Muslim di Jerman, 35 persen di Inggris dan 29 persen di Prancis menyatakan mereka merasa masih terisolasi. Berbeda dengan Muslim di negara AS dan Kanada, masing-masing hanya 15 persen dan 20 persen responden Muslim yang merasa masih diasingkan.

Menurut Mogahed yang sekarang juga menjadi penasehat Presiden Obama, perbedaan prosentase itu disebabkan karena warga Muslim di AS dan wilayah Amerika Utara mendapatkan akses yang lebih besar di berbagai sektor, terutama di sektor pendidikan dan kesempatan kerja. Sehingga warga Muslim di AS dan Amerika Utara lebih mudah berintegrasi dan kondisi sosialnya lebih baik.

"Hal itu bisa dijelaskan dari sejarah perkembangan keimigrasian di Kanada dan AS," kata Mogahed.

Hasil polling juga menunjukan adanya gap yang tajam antara persepsi warga Muslim di Eropa dengan persepsi masyarakat Eropa pada umumnya tentang integrasi. Di Prancis misalnya, 26 persen responden Muslim menyatakan mereka sudah bisa berbaur di tengah masyarakat. Sementara masyarakat umum Eropa yang merasakan hal serupa hanya 22 persen. Gap yang tajam atas perbedaan persepsi ini juga terjadi di negara Eropa lainnya seperti Jerman dan Inggris.

Mogahed mengatakan, fakta diatas menunjukkan betapa sulitnya mengambil kesimpulan tentang integrasi Muslim di Eropa. Kondisi berpengaruh pada upaya penerapan kebijakan dalam upaya integrasi itu. Faktor lainnya yang mempengaruhi tingkat integrasi dan persepsi dari kalangan Muslim, menurut Mogahed, adalah negara asal dari warga Muslim itu sendiri. Di Prancis, imigran Muslim kebanyakan berasal dari Afrika Utara, di Jerman mayoritas warga Muslimnya berasal dari Turki, di Inggris kebanyakan warga Muslimnya berasal dari Pakistan dan Bangladesh.

Perbedaan persepsi yang makin tajam terlihat pada isu-isu moral. Mayoritas Muslim di Eropa menurut polling tersebut tetap tidak bisa menerima homoseksual dan pornografi. Pandangan publik Eropa juga jauh berbeda dengan pandangan Muslim dalam menyikapi isu-isu seperti hukuman mati dan bunuh diri.

Dari hasil polling tersebut, para pakar di Gallup menyimpulkan bahwa kombinasi antara keteguhan untuk menjalankan ajaran Islam dengan keteguhan untuk mempertahankan prinsip menjadi salah satu faktor munculnya perbedaan persepsi tentang tingkat keberhasilan integrasi Muslim di Eropa. Situasi makin buruk menyusul terjadinya berbagai serangan teroris mulai dari serangan 11 September di AS, serangan bom di Madrid dan London . Peristiwa-peristiwa makin memicu ketidakpercayaan publik Eropa pada warga Muslim.

"Masyarakat Eropa secara terbuka mengungkapkan keraguannya tentang loyalitas warga Muslim pada negara di tempat tinggalnya," kata para pakar di Gallup.

Mereka berpendapat, perdebatan tentang integrasi harus diperluas bukan hanya sebatas pada masalah agama dan keamanan tapi juga harus mencakup perjuangan seluruh warga negara dari kelompok agama manapun dalam mendapatkan kesempatan yang sama di sektor ekonomi dan sosial. (ln/aljz)