Ketika Sarjana Barat Memandang Piagam Madinah

Eramuslim – Dalam jangka panjang, substansi madinah (Piagam Madinah) telah menjadi spirit bagi pentingnya keberadaan konstitusi suatu bangsa. Tanpa adanya konstitusi, kehidupan bernegara dan bermasyarakat tidak akan teratur. Keberadaan Piagam Madinah yang monumental itu pun diakui para ahli sejarah Barat. Mereka menyebut naskah politik yang dibuat Muhammad itu dengan nama yang beragam.

Sejarahwan W. Montgomery Watt menamainya The Constitution of Medina, R.A. Nicholson menyebutnya Charter, Majid Khaduri menamainya Treaty, Philip K. Hitti sebagai Agreement, Zainal Abidin Ahmad Piagam, sementara kata Al Shahifah adalah nama yang disebut dalam naskah aslinya. Kata Al Shahifah tertulis delapan kali dalam teks piagam.

Selain Al Shahifah, di dalam teks juga tertulis sebutan Kitab dua kali. Kata Treaty dan Agreement menunjuk pada isi naskah. Kata Charter dan Piagam lebih menunjuk kepada surat resmi yang berisi pernyataan tentang sesuatu hal. Sementara itu, kata Constitution menunjuk kepada kedudukan naskah itu sebagai dokumen resmi yang berisi pokok-pokok kenegaraan. Kata Shahifah semakna dengan Charter dan Piagam.

Para sejarahwan juga menyebut isi Piagam Madinah sebagai autentik (asli). W. Montgomery Watt, dalam bukunya Muhammad at Medina misalnya, menyatakan bahwa ”dokumen ini secara umum diakui autentik.” Ia menambahkan dokumen tersebut merupakan ide yang mendasari negara Islam pada awal pembentukannya.