Imigran Afrika : Mimpi Menjadi Jutawan, Hasilnya Sengsara

Umumnya orang-orang Afrika yang menjadi imigran, mereka semua ingin mengejar Kekayaan. Mereka dari Afrika berbondong-bodong menuju Eropa. Mereka bermimpi menjadi "multi jutawan", dan hidup enak, mewah, serta nyaman di negeri baru. Itulah impian mereka yang ada.

The New York Time, mengisahkan tentang Amadou Jallow, yang sedang mengajar ilmu sciense di Gambia sebelum berangkat ke Eropa. Kini, laki-laki muda itu terdampar di sebuah penampungan di Palos de la Frontera. "Saya pikir saya akan menjadi seorang jutawan", tuturnya. Tetapi, kenyataannya tidak seperti yang dia impikan, negara Eropa tidak dapat memberi apapun bagi dirinya, dan sekarang terlunta-lunta.

Amadou Jallaow, 22, sekarang kembali ke Gambia, sesudah lontang-lantung selama berapa tahun di Eropa. Amadou adalah seorang pencinta reggae yang baru saja selesai kuliah dan memiliki ilmu sciense di sebuah sekolah tinggi. Tetapi, impian ingin menjadi seorang "multi jutawan" itu, kemudian membawanya pergi ke Eropa. Mula-mula ia tinggal di sebuah perkemahan liar di luar Palos de la Frontera, Spanyol. "Kami bukan orang-orang semak," kata pria itu.

Namun Eropa Menggiurkan?

Di tanah airnya Afrika Barat, gaji Jallow adalah setara dengan hanya 50 foundsterling sebulan, hampir tidak cukup untuk kebutuhan, katanya. Di mana-mana di wilayah Serekunda, kota terbesar Gambia, berlangsung cerita-cerita dari pembicaraan tentang mudahnya mendapatkan uang di Eropa.

Sekarang dia tertawa getir mengingat tentang semua pembicaraan dulu itu. Dia tinggal di sepetak hutan di Spanyol selatan. Tepatnya di luar desa Palos de la Frontera, dengan ratusan imigran lainnya. Mereka telah membangun rumah mereka dari terpal plastik dan kardus. Dia yakin jika air yang mereka minum dari pipa terbuka itu aman. Setelah enam tahun di benua Eropa, Jallow, tak nampak kehidupan yang dia harapkan. Tetap sengsara. Uang tetap sulit didapatkannya. Tentu, yang lebih celaka lagi, penyakit menghampirinya, tak tanggung-tanggung penyakit hepatitis, dan matanya nampak semburat kuning.

"Kami bukan orang-orang semak," katanya baru-baru ini kepada The New York Time. Dia mengumpulkan ranting untuk menyalakan api. "Kamu pikir ini beradab. Tapi ini adalah bagaimana kita tinggal di sini. Kami menderita di sini", ujarnya kepada The New York Time.

Pergolakan politik di Libya dan tempat lain di Afrika Utara telah membuka jalan bagi ribuan migran baru untuk membuat mereka menuju ke Eropa melalui pantai Mediterania. Sudah 25.000 imigan Afrika mencapai pulau Lampedusa, Italia, dan ratusan lainnya telah tiba di Malta.

Perahu, pada awalnya, sebagian besar membawa imigran Tunisia. Namun belakangan ini telah ada lebih banyak imigran dari sub-Sahara.

Para ahli mengatakan ribuan lagi – banyak di antaranya telah bergerak dari sekitar Afrika Utara berusaha menuju ke Eropa. Selama bertahun-tahun, para imigran yang berasal dari Somalia, Eritreans, Senegal dan Nigeria, mereka berusaha mendapatkan impian mereka "Eropa", dan yakin bahwa kehidupan di Eropa akn lebih baik.

Tapi bagi Jallow dan banyak orang lain yang datang sebelum mereka, sering setelah berhari-hari di laut tanpa makanan atau air, kemudian Eropa menawarkan bantunan, mengatasi kesulitan mereka,yang tidak tidak pernah mereka bayangkan. Hari-hari ini Jallow bisa bertahan hidup, dan makan dua kali sehari> Tetapi, makanan mereka yang dimasak dari tepung dan menggunakan minyak itu, sudah tercampur dengan timah, yang merusak tubuhnya.

Terjadinya Kelaparan

Pihak berwenang memperkirakan mungkin sampai 10.000 imigran yang tinggal di hutan di provinsi Spanyol selatan Andalusia. Daerah yang dikenal untuk tanaman stroberi, raspberry dan blueberry, dan ada ribuan pendatang lainnya di daerah yang menghasilkan buah zaitun, jeruk dan sayuran. Sebagian besar dari mereka memiliki cerita yang tak jauh dengan Jallow.

Dari jalan, perkemahan mereka tampak seperti cendawan terselip di antara pepohonan. Dari dekat, nampak kemelaratan begitu jelas. Tumpukan sampah dan lalat di mana-mana. Pakaian kumal, kaku, akibat kotoran dan hujan, dan pakaian mereka menggantung di cabang-cabang pohon.

"Semuanya ada di sana," kata Diego Cañamero, pemimpin serikat pekerja peternakan di Andalusia, yang mencoba untuk mengadvokasi orang-orang ada di daerah itu. "Anda seperti melihat tikus dan ular dan tikus dan kutu", ujarnya kepada The New York Time.

Imigran yang tingal di dalam hutan tidak dapat menelepon ke kampung halaman mereka dengan menceritakan apa adanya. Sekalipun mereka mengirim gambar diri mereka, berpose di samping mobil Mercedes yangn diparkir di jalan, seperti gambar Jallow, dan tentu akan mengatakan sudah tidak ada harapan, sesudah selama bertahun-tahun. Sekarang ia menggelengkan kepalanya ke arah tetangganya, yang tidak akan berbicara kepada wartawan.

"Begitu banyak kebohongan," katanya. "Hal ini mengerikan apa yang mereka lakukan. Tapi mereka malu. "

Bahkan sekarang, Jallow tidak akan mempertimbangkan kembali ke Gambia. "Saya lebih suka mati di sini," katanya. "Saya tidak bisa pulang dengan tangan hampa. Jika saya pulang, mereka akan berkata, mereka pikir di selulruh Eropa ada uang. "Apa yang telah kau lakukan dengan diri anda sendiri, Amadou?", tanya wartawan.

Para imigran – hampir semua dari mereka adalah orang – petani dan mencari pekerjaan di pertanian. Tapi Cañamero mengatakan mereka ditawari bekerja dengan pekerjaan yang paling tidak diinginkan, seperti penanganan pestisida, yang dapat membahayakan dirinya. Sebagian besar tidak memiliki kemampuan kerja.

Kadang-kadang, polisi membawa buldoser untuk merobohkan tempat penampungan. Tetapi kaum imigran, biasanya mereka menggunakan tabungan keluarga mereka untuk sampai ke Eropa. Sebagian besar dibiarkan saja – kondisi mereka hidup di bawah kemiskinan, dan tak jauh berbeda hidup mereka di desa-desa di dekatnya yang sangat menderita.

Walikota Palos de La Frontera tidak menjawab pertanyaan melalui telepon, tentang para imigran yang ada kamp-kamp itu. Tapi Juan José Band, walikota Moguer terdekat, yang memiliki kemah lebih besar, mengeluarkan pernyataan yang mengatakan kota tidak memiliki cukup uang untuk membantu imigran. "Masalahnya terlalu besar bagi kami," katanya. "Tentu saja, kami ingin berbuat lebih banyak", tambahnya.

Mereka yang meningglkan kampung halaman mereka di benua Afrika, dan berimigrasi ke Eropa, dan ingin mewujudkan impian mereka  menjadi "multi jutawan", ternyata mereka hidup di tenda-tenda ditengah hutan, dan bekerja di kebun-kebun, yang tak berbeda ketika mereka masih di Afrika. Mereka tak menemukan impian mereka. Hanya sengsara yang mereka temui dan dapatkan. Itulah nasib imigran Afrika di Eropa. (mh/tnt)