Dr. Aslam Abdullah, imam Masjid Jamia di Las Vegas, AS tidak bisa melupakan keajdian di pagi hari pada tanggal 11 September 2001. Usai menunaikan salat, ia menyalakan televisi dan betapa terkejutnya ia melihat peristiwa yang ia saksikan di depan matanya, dan tidak pernah mengira betapa mahalnya harga yang harus dibayar komunitas Muslim setelah peristiwa itu.
"Itulah hari ketika umat Islam diperkenalkan pada negara ini. Sebuah perkenanalan yang sangat negatif, meskipun mereka yang melakukan serangan itu tidak mewakili seluruh masyarakat Muslim. Serangan itu merupakan bisikan setan dan telah mendistorsikan ajaran Islam," kata Abdullah yang juga anggota Islamic Society of Nevada.
Abdullah bersama komunitas Muslim, seperti juga warga AS lainnya, ikut mendonasikan darahnya ke Palang Merah Amerika untuk membantu para korban tragedi 11 September 2001. Abdullah juga menggalang komunitas Muslim untuk ikut melakukan penjagaan, menggelar doa bersama dan berbelasungkawa untuk ribuan orang yang menjadi korban serangan tersebut.
"Satu hal yang harus banyak orang pahami adalah, pada hari itu banyak Muslim yang juga menjadi korban dan kehilangan nyawa," kata Abdullah.
Tapi yang ia sayangkan, persoalan yang mencuat bukan terfokus pada tragedi atau bagaimana melawan terorisme, tapi justru kampanye untuk membenci umat Islam. Abdullah mengungkapkan, masjidnya dan masjid-masjid lainnya di kawasan Las Vegas berkali-kali menjadi target aksi vandalisme. Kominitas Muslim diejek dan dicemooh dengan sebutan-sebutan bernuansa rasial.
"Kami banyak menerima telepon yang isinya mengusir kami (dari AS). Padahal AS adalah rumah kami," tukas Abdullah.
Hampir 10 tahun setelah peristiwa itu, komunitas Muslim masih menjadi target kecurigaan. "Komunitas Muslim menyaksikan bagaiman Muslim dibunuh oleh warga yang membenci Islam, protes terhadap rencana pembangunan masjid baru dan sejumlah pemuka agama Kristen mengancam akan membakar Al-Quran," tutur Abdullah.
"Orang-orang mengatakan bahwa Islam tidak punya tempat di Amerika. Saya tidak tahu bagaimana cara berpikir mereka, apakah mereka pikir agama Kristen lahir di Washington," kritik Abdullah.
Tembok pemisah antara komunitas Muslim dan non-Muslim yang diharapkan akan runtuh seiring perjalanan waktu, malah semakin tinggi. "Setelah 10 tahun, sebagian non-Muslim di AS masih mengasosiasikan terorisme dengan Islam karena penggambaran yang dilakukan oleh media massa dan para politisi.
"Mereka menjadikan Muslim sebagai kambing hitam atas peristiwa 11 September," tukas Abdullah.
Namun Abdullah tak putus harapan bahwa situasi itu akan berubah. "Amerika punya kemampuan untuk berubah," tandasnya. (kw/isc)