Ikhwan, Putar Haluan, Meninggalkan Politik Praktis?

Pekan lalu, Al-Ahram, salah satu harian terbesar di Mesir, menerbitkan seri berikutnya dokumen-dokumen tentang ‘organisasi internasional yang dilarang’; Ikhwan.

Sejak kelahirannya, Ikhwan memang tidak lepas dari berbagai intrik penguasa setempat yang melarang, dan mengilegalkannya. Ikhwan, tidak pelak, telah melihat jati diri dan peranannya saat ini; ia menjadi “ibu” dari gerakan politik berbagai jamaah yang lain, karena magnit dan pengaruhnya di wilayah Arab dan negara-negara Muslim di dunia.

Dokumen-dokumen itu berisi, meminjam istilah para jurnalis Mesir, isi kepala dari masyaikh Ikhwan (tokoh-tokoh Ikhwan). Bertahun-tahun lamanya, anggota Ikhwan menjalani hidup antara rumah dan penjara, karena opressi (penindasan) penguasa Mesir yang memang keras terhadap segala hal yang berbau pergerakan Islam. Beriringan dengan itu, Ikhwan membangun infrastruktur di semua lini, termasuk yayasan dan perusahaan besar, yang kemudian menggambarkan mindset (kerangka berpikir) dan rencana besar Ikhwan. Apalagi ketika Ikhwan terlibat dalam politik parlemen secara langsung.

Pendekatan pemerintah Mesir selalu berkutat dalam hal keamanan: Sebuah kelompok yang secara legal dilarang dari aktivitas politik telah melanggar hukum karena itu harus dikenai sanksi. Ikhwan, melalui para Mursyid ‘Aam-nya (Pembimbingnya)  menegaskan bahwa semua dokumen dan penangkapan tokoh kunci Ikhwan oleh pemerintah Mesir adalah suatu akal bulus pemerintah semata.

Tidak heran jika kemudian, Ikhwan—dengan segala tekanan itu—mendeklarasikan diri bukan sebagai partai politik,  tapi lebih merupakan sebuah proyek besar yang komprehensif dan politik hanya sebagian kecil dari tujuan pergerakan mereka. Ini semua mengembalikan Ikhwan pada poin utama Ikhwan dari awal. Eforia kemenangan kursi parlemen yang cukup signifikan di tahun 2005 telah mengubah wajah Ikhwan menjadi begitu lembek dan tak lagi bertenaga, cenderung kompromis dengan penguasa.

Jika gerakan Ikhwan terlibat secara utuh dalam pembinaan, maka konfrontasi langsung dengan pemerintah Mesir saat ini, mungkin belum saatnya terjadi. Mungkin Ikhwan sudah melihat gerakan Jamaah Tabligh yang menyebar secara cepat ke seluruh dunia, dan dalam situasi seperti ini di berbagai belahan dunia, Ikhwan kehilangan esensi pergerakannya, dari zaman Mahmoud al Nuqrashi Pasha sampai hari ini, dihubungkan dengan kenyataan bahwa Ikhwan adalah sebuah proyek besar luar biasa dalam advokasinya terhadap umat. Proyek besar Ikhwan ini lebih komprehensif dibandingkan kudeta militer walaupun Ikhwan berulang kali menyatakan bahwa perubahan melalui kekerasan tidak bisa diterima.

Jadi dalam hal ini, ada satu kondisi sama, namun dengan tanggapan yang berbeda. Pemerintah Mesir mengharamkan Ikhwan, namun Ikhwan pun tak menghiraukan larangan itu. Apakah perjuangan Ikhwan akan berubah? Dua kubu yang kini saling tarik di dalam internal Ikhwan, kaum muda Ikhwan menginginkan Ikhwan berhati-hati dalam urusan politik, bahkan cenderung setuju untuk lebih menguatkan infrastuktur dan pembinaan di tingkat masyarakat bawah, versus generasi lama yang sudah tua yang lebih memilih jalan kanan dengan terlibat langsung dalam politik praktis.

Ikhwan tampaknya dalam proses transisi. Mereka sudah terbukti berada dalam opressi keras dari penguasa Mesir. Kedatangan presiden AS, Barack Obama ke Mesir sebagai instalasi politik Timur Tengah dari AS, dan yang paling memilukan drama di Gaza pada Januari 2009 silam sehubungan agresi Israel yang menewaskan 1500 orang Palestina sudah menjadi pertaruhan tersendiri bagi Ikhwan. Putar haluan, Ikhwan? (sa/alwst)