Kebijakan anti terorisme AS dan penggunaan "siksaan dan tindakan sewenang-wenang" yang dilakukan AS terhadap para tawanannya membuat upaya untuk menegakkan hak asasi di dunia mengalami kemunduran pada tahun 2005. Hal tersebut disampaikan Human Right Watch (HRW) dalam laporan tahunannya yang dirilis Rabu (18/1).
Organisasi pemantau hak asasi manusia yang berbasis di New York ini menyatakan, kebijakan AS yang justru melahirkan teroris-teroris baru juga menghambat upaya AS menekan negara lain agar lebih menghormati hukum internasional.
Eksekutif Direktur HRW Kenneth Roth mengungkapkan,"Memerangi terorisme merupakan hal yang sentral dalam persoalan hak asasi manusia. Tapi menggunakan taktik yang ilegal terhadap para tersangka pelaku terorisme adalah tindakan yang salah dan kontra produktif."
HRW dalam laporannya juga mengungkapkan, tentara-tentara AS secara rutin memperlakukan para tahanannya yang merupakan warga Irak dengan semena-mena, memukul dan melakukan tindakan kejam dan tidak berperikemanusiaan lainnya sebagai ‘cara olahraga’ atau hanya sekedar ‘menghilangkan stress’ tentara-tentara AS itu.
HRW menolak argumen AS yang mengatakan bahwa kasus-kasus interogasi yang disertai dengan penyiksaan itu dilakukan oleh ‘segelintir orang’ saja di kemiliteran, sementara sejumlah pejabat pemerintah senior AS dengan jelas menyatakan bahwa tindakan itu merupakan ‘pilihan kebijakan yang dilakukan dengan sadar.’
Lebih lanjut Roth menyatakan, bukti-bukti kebijakan kekerasan yang sengaja diambil AS itu juga meliputi sikap Presiden Bush yang mengancam akan memveto undang-undang yang menentang ‘kekejaman, tindakan tidak berperikemanusiaan dan penghinaan’ serta tindakan yang dilakukan oleh Wakil Presiden Dick Cheney yang melindungi Central Intelligence Agency dari jeratan hukum.
"Tanggung jawab atas penggunaan kekerasan dan penyiksaan tidak bisa lagi dianggap sebagai tindakan para tentara berpangkat rendah yang sedang berpetualang. Pemerintah Bush harus menunjuk seorang penuntut umum untuk meneliti kasus-kasus kekerasan ini dan Kongres selayaknya membentuk tim independen dan tidak partisan untuk menyelidiki hal ini," tegas Roth.
AS Hipokrit
Laporan HRW juga menyebutkan bahwa AS menghadapi tudingan sebagai negara yang hipokrit. Di satu sisi, AS melakukan pelanggaran HAM dengan melakukan penyiksaan dan pelecehan tawanannya di Irak, di sisi lain, AS ikut campur tangan dalam persoalan-persoalan HAM di beberapa negara seperti pembantaian terhadap ratusan pengunjuk rasa di Uzbekistan, pembersihan etnis di Darfur, Sudan dan tindakan represif yang dilakukan oleh pemerintahan negara-negara seperti Myanmar, Korea Utara, Turkmenistan, China dan Zimbabwe.
"Meski para pejabat (AS) bicara lantang untuk menegakkan hak asasi manusia atau bertindak mengutuk pelanggaran HAM itu, inisiatif itu tidak membuahkan apa-apa karena adanya gap dalam masalah kredibilitas," tulis HRW.
Persoalan kredibilitas itu terlihat dari derasnya kritikan AS terhadap kekerasan di Mesir, Rusia dan Arab Saudi. HRW juga mengkritik sekutu-sekutu AS dalam perang melawan terorisme karena sudah mengabaikan masalah perlindungan internasional. HRW mencontohkan Inggris yang memulangkan para tersangka pelaku teroris ke negara asalnya yang juga kerap melakukan kekerasan dan negara Canada yang menerapkan undang-undang baru yang memungkinkan adanya penghilangan orang secara paksa.
Selain AS, Uni Eropa juga dianggap sudah banyak mengabaikan hak asasi manusia dalam hubungannya dengan negara lain dalam perang melawan terorisme, seperti Rusia, China dan Arab Saudi. Rusia dan China dinilai sudah mengeksploitasi sebuah kondisi untuk menjatuhkan lawan politiknya dengan menyebut mereka sebagai ‘Teroris Islam.’
Laporan tahunan HRW juga mencantumkan sebuah survey tentang perkembangan hak asasi manusia sepanjang tahun 2005 di lebih dari 70 negara. (ln/iol)