Hizbullah tidak main-main dengan ancamannya untuk menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran di Libanon sebagai bentuk protes terhadap pemerintahan Perdana Menteri Fuad Siniora yang dianggap terlalu pro AS dan gagal melakukan pembicaraan antar faksi, khususnya kelompok oposisi, untuk membentuk pemerintahan nasional bersatu.
Situs The Daily Star Libanon mengutip pernyataan sumber senior Hizbullah pada Senin (27/11), yang mengatakan bahwa Hizbullah akan mulai menggelar rangkaian tindakan yang "random dan mengejutkan" untuk membubarkan kabinet Siniora.
"Kami tidak akan mengumumkan tanggal resmi untuk protes-protes itu, akan ada rangkaian aksi protes yang mengejutkan dan bisa dilakukan kapan saja," kata sumber Hizbullah yang tidak mau disebut namanya.
Seperti diketahui, pemimpin Hizbullah, Hassan Nasrallah belum lama ini menyerukan aksi massa besar-besaran untuk melengserkan pemerintahan Fuad Siniora. Namun aksi unjuk massa itu ditunda, menyusul peristiwa pembunuhan Menteri Perindustrian Libanon, Pierre Gemayel pekan kemarin.
Hizbullah sepertinya akan memulai aksi massanya pekan-pekan ini. Bagian hubungan media Hizbullah, Hussein Rahhal seperti dikutip Islamonline pada Selasa (28/11) menyatakan,"Hizbullah dan kelompok oposisi lainnya, termasuk gerakan Amal, Michael Aoun-pemimpin Partai Free Patriotic Movement serta Suleiman Frangjeh (mantan perdana menteri), telah sepakat bahwa aksi protes akan melibatkan semuanya."
"Pemerintah telah gagal mencari jalan keluar atas kegamangan politik yang terjadi sekarang ini, dan pemerintah tidak konstitusional lagi. Rejim yang berkuasa sekarang memaksakan diri untuk mengontrol penuh semua proses pengambilan keputusan di negeri ini," ujar Rahhal.
Ia menambahkan, perang Hizbullah-Israel kemarin membuktikan bahwa "kita tidak bisa mempercayakan Libanon pada pemerintahan yang telah membuat komitmen dengan pihak asing."
"Kami ingin menyeimbangkan keputusan. Kami tidak mau kelompok tertentu memiliki posisi lebih tinggi dalam proses pengambilan keputusan di negeri ini. Kami tidak mau Libanon berada di bawah perintah Barat dan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan Amerika," tegas Rahhal.
Krisis politik yang melanda Libanon makin tajam setelah Hizbullah dan Amal menarik perwakilan-perwakilannya dari kabinet Siniora dua minggu yang lalu. Dengan tidak adanya perwakilan kelompok Syiah di pemerintahan, Hizbullah menyatakan pemerintah sudah kehilangan legitimasinya.
Lebih lanjut hubungan media Hizbullah, Hussein Rahhal menyatakan, pihaknya tidak akan memberi tahu detil waktu pelaksanaan aksi unjuk rasa.
"Strategi kami berdasarkan pada persiapan secara penuh pelaksanaan aksi protes tanpa pemberitahuan terlebih dahulu dan kami sudah hampir selesai menyusun tahap-tahap aksi massa setelah melakukan konsultasi dengan kelompok-kelompok yang akan bergabung dengan kami," ujarnya.
Rahhal mengungkapkan, aksi massa akan diarahkan ke gedung kabinet di Beirut. Di sana, massa akan melakukan aksi duduk sampai pemerintahan Siniora tunduk pada tuntutan massa.
Selain unjuk rasa, Hizbullah juga menyerukan para pendukungnya yang bekerja di institusi-institusi pemerintah untuk melakukan aksi mogok kerja atau jika dianggap perlu, mengundurkan diri untuk melumpuhkan jalannya pemerintahan.
Rahhal membantah berita-berita di media massa yang mengatakan bahwa para pengunjuk rasa akan memblokade jalan menuju bandara internasioanl Beirut yang melewati sejumlah tempat yang menjadi basis-basis Hizbullah.
Ia juga mengakui tidak menutup kemungkinan terjadi bentrokan. "Tentu saja bisa terjadi bentrokan meski Hizbullah sudah menyerukan agar para pendukungnya menahan diri. Anda tidak perlu turun ke jalan untuk menimbulkan kekacauan, karena kekacauan itu sendiri sudah terjadi," katanya.
Rahhal menambahkan, Hizbullah tidak merasa malu berhubungan dengan negara seperti Iran dan Suriah.
"Kami lebih baik menjalin hubungan dekat dengan umat Islam dan negara-negara Arab daripada dengan negara-negara Barat," tegasnya. (ln/iol)