Hasil Polling Financial Times, Antara Fakta dan Propaganda Anti-Muslim

Warga Muslim seolah tak percaya dengan hasil polling yang dilakukan surat kabar Financial Times baru-baru ini, yang hasilnya menunjukkan bahwa masyarakat Inggris ternyata memiliki kecurigaan lebih besar terhadap warga Muslim, dibandingkan dengan masyarakat di negara-negara Eropa lainnya, bahkan masyrakat Amerika.

Selama ini mereka menyangka bahwa bahwa masyarakat AS lah yang sikap fobianya terhadap umat Islam lebih tinggi dibandingkan di Inggris.

"Jujur, saya tidak tahu jika kami yang lebih besar memiliki sikap curiga itu. Saya sendiri selama ini berprasangka masyarakat Amerika lah yang memiliki sikap seperti itu, " kata David Flisher distrik Ipswich, semenanjung Anglia Timur yang berada di timur Inggris.

Flisher mengatakan, ia sebenarnya senang-senang saja jika anak-anaknya disekolahkan di sekolah Muslim, tapi isterinya tidak akan mengizinkan. Menurut Flisher, bapak mertuanya juga tidak percaya dengan Muslim dan janggutnya, meski bapak mertuanya secara umum sangat toleran.

Jeremian Hadley, warga Australia yang sedang tinggal di Inggris menilai hasil polling Financial Times cukup akurat. "Saya melihatnya di lingkungan anak-anak tempat saya bekerja. Mereka membicarakan hal-hal yang tidak tersensor, para orang dan teman-teman mereka menambahkan dengan cerita-cerita yang seram, " aku Hadley yang bekerja sebagai mentor.

Ia melanjutkan, "Di Newham misalnya, anda bisa berkumpul dengan komunitas anda sendiri dan tidak akan bisa berbaur dengan komunitas lainnya. Anda bahkan tidak perlu bisa bahasa Inggris. Masyarakat membenci Muslim dan Muslim melakukan hal yang sama. "

Hadley menceritakan pengalamannya melihat seorang anak perempuan Muslim menangis tersedu-sedu ketika para tetangganya menjelek-jelekkan keluarganya. Gadis Muslim itu sampai ingin pindah agama dan sangat khawatir dengan masa depannya.

"Saya sangat khawatir dengan masa depan anak-anak ini, " kata Hadley.

Lain lagi pengalaman Leon Mann, yang juga meyakini hasil polling Financial Times. Mann yang saat ini giat mengkampanyekan anti-rasisme lewat olah raga sepak bola dengan program "Kick It Out" nya mengatakan, sejak peristiwa bom London tahun 2005 kecurigaan masyarakat Inggris terhadap warga Muslim makin meningkat.

Mann yang berasal dari Afrika Utara merasakan perubahan itu. "Saya pribadi merasa orang-orang lebih berhati-hati ketika dekat dengan saya, " ujarnya.

Di Gant Hill, seorang laki-laki yang bernama Redwood bahkan mengatakan, "Kami tidak perlu melakukan polling untuk menyatakan sikap kami terhadap Muslim. Muslim menjadi sumber masalah di negara ini. Kita harus hati-hati dengan ancaman mereka, " imbuhnya.

Ia meminta pemerintah Inggris memberikan perlindungan bagi masyarakatnya sendiri dan memulangkan semua warga Muslim ke negaranya masing-masing.

Sikap curiga dan fobia terhadap umat Islam di kalangan masyarakat Inggris, menurut sejumlah warga baik yang muslim dan non-muslim, tidak lepas dari peran media sikap pemerintah Inggris sendiri terhadap umat Islam.

"Sikap itu muncul akibat media massa yang secara liar mengedepankan informasi-informasi yang menimbulkan kekhawatiran orang lain, media massa telah memicu rasa kecurigaan banyak orang terhadap apa yang mereka sebenarnya tidak pahami, " papar Flisher.

"Saya seorang Kristiani, saya sudah membaca al-Quran, saya tidak merasa takut dengan Muslim. Saya malah takut pada mereka yang telah menyebarkan ketakutan itu, " tukasnya.

Sementara itu, Direktur Hubungan External Islamic Forum Europe, Azad Ali menilai hasil polling Financial Times sebagai kampanye jahat yang dilakukan media terhadap warga Muslim.

"Dari pengalaman saya, secara umum hubungan antara Muslim dan warga masyarakat di Inggris baik-baik saja dan mereka bisa saling menerima. Polling itu mengindikasikan bagaimana media-media sayap kiri dan sejumlah komentator yang fobia dengan Islam memberikan laporan dan komentar-komentar yang tak bertanggung jawab, " papar Ali.

Aktivis hak asasi manusia Abdurahman Jafar, sikap curiga masyarakat Inggris pada Muslim adalah akibat dari sikap mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Ia membandingkannya dengan negara Prancis. "Prancis menentang perang di Irak dan neo-konservatisme, sedangkan Inggris malah mendukungnya, " kata Jafar.

Menurut Jafar, selama memerintah Blair telah mengedepankan wacana tentang ideologi jahat dan Islamisme, yang disebutnya memiliki ancaman yang sama bahayanya dengan ideologi Hitler. Jafar juga mengkritik media massa yang tidak banyak memberi ruang untuk menyediakan informasi yang benar tentang Islam dan umat Islam. (ln/iol)