Hari ini, 8 Maret adalah hari Perempuan Se-dunia. Kaum perempuan Indonesia yang tergabung dalam sejumlah LSM Perempuan membentuk koalisi Gerakan Perempuan Tolak Pemiskinan dalam memperingati International Women’s Day itu. Dan hari ini ini di Bunderan HI, Gerakan Perempuan Tolak Pemiskinan menggelar aksi bertema Hentikan Kemiskinan terhadap Perempuan.
Meski demikian, kehidupan kaum perempuan di Indonesia, bisa jadi lebih baik dibandingkan dengan kehidupan kaum perempuan di negara seperti Afghanistan. Latar belakang budaya, membuat mereka hidup dalam berbagai tekanan. Runtuhnya rejim Taliban oleh invasi AS empat tahun yang lalu, ternyata tidak membuat hidup mereka jauh lebih baik.
"Kondisi sekarang sangat buruk. Saya pikir di negara lain tidak ada yang seperti ini, wanita menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga, kawin paksa dan pernikahan di usia yang masih anak-anak," kata Menteri Urusan Perempuan Afghanistan, Mas’uda Jalal.
Ia mengecam masih adanya fenomena dalam keluarga yang menikahkan anaknya yang masih usia anak-anak sebagai upaya penyelesaian pertikaian, termasuk masalah pembunuhan dan hutang, serta kebiasaan membunuh perempuan yang dianggap merusak kehormatan keluarga.
"Pernikahan tidak didaftarkan, membiarkan terjadinya berbagai pelanggaran termasuk penolakan hak milik dan hak waris," sambung Jalal.
Sebuah laporan yang dibuat Amnesty International tahun 2005 lalu menyebutkan, perkosaan, pembunuhan dan penyiksaan terhadap kaum perempuan banyak terjadi di Afghanistan dan tidak tersentuh hukum. Amnesty Internasional menuding institusi-institusi negara ‘secara sistematis gagal’ untuk melindungi kaum perempuan dari tindakan sewenang-wenang dari dalam dan dari luar keluarganya.
Tingkat Kematian Ibu dan Buta huruf Masih Tinggi
Tingkat kematian ibu di Afghanistan termasuk yang tertinggi di dunia. Oleh sebab itu, kata Jalal, menurunkan tingkat kematian ibu yang tinggi menjadi prioritas pemerintah Afghanistan sekarang ini.
Menurut data statistik, lebih dari 1.600 dari setiap 100.000 kaum ibu di Afghanistan, meninggal dunia ketika melahirkan. Masing-masing ibu, rata-rata memiliki lebih dari 6 anak, resiko kematian ibu di Afghanistan berkisar 1 banding 10.
"Setiap 30 menit kami kehilangan satu ibu. 87 persen kematian ini, dari hasil studi sebenarnya bisa dicegah, karena penyebabnya adalah kurangnya akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan banyak faktor lainnya. Jika mereka kehilangan nyawa, kami tidak bisa bicara hak-hak lainnya," jelas Jalal.
Prioritas lainnya yang penting adalah memberantas buta huruf di kalangan kaum perempuan. Lebih dari 80 persen kaum perempuan Afghanistan, menurut kementerian pendidikan, masih buta huruf.
"Contohnya, 60 persen anak perempuan usia sekolah yang berusia 13 tahun tidak sekolah karena tidak kurangnya akses pendidikan," ujar Jalal. Salah satu penyebab tingginya angka buta huruf ini adalah kebijakan Taliban ketika berkuasa pada 1996, yang melarang kaum perempuan sekolah dan bekerja.
Laporan dari bantuan kemanusiaan ke Afghanistan yang dilakukan Program Pembangunan PBB (UNDP) tahun 2005 menyebutkan, hanya 28,7 persen kaum perempuan di Afghanistan yang bisa membaca dan menulis. Setelah Taliban runtuh, pemerintahan baru mengadopsi undang-undang tentang persamaan hak bagi kaum perempuan. Dan untuk pertama kalinya, dibentuk kementerian urusan perempuan, kaum perempuan sudah dibolehkan kembali bekerja serta bersekolah sampai ke perguruan tinggi.
Meski demikian, Jalal menyatakan itu semua belum cukup, terutama untuk lapangan pekerjaan. Menurutnya, baru satu persen lapangan kerja di pemerintahan yang diberikan bagi kaum perempuan. "Kami masih jauh ketinggalan," kata Jalal.
Kedepankan Peran Perempuan dalam Masyarakat
Hal penting lainnya yang menjadi fokus perhatian pemerintah Afghanistan adalah mendorong kaum wanita untuk memainkan peranan yang lebih besar di masyarakat, bersama-sama dengan kaum pria.
Jalal berharap, kaum wanita mulai mau ke luar rumah untuk sholat berjamaah di masjid-masjid. Untuk itu, ia selalu memberikan contoh dengan mengimami jamaah wanita di masjid saat sholat.
Ia juga melakukan kesepakatan dengan kementerian transportasi agar menyediakan 30 persen bangku di bis-bis umum untuk kaum perempuan dan mengubah sikap para sopir bus agar mau berhenti ketika diberhentikan oleh kaum perempuan yang ingin naik bis tersebut.
Jalal mengakui adanya resistensi dari kalangan pria di Afghanistan yang menganut sistem patriarki yang kental. Namun ia yakin bisa mengubahnya dengan bantuan dari organisasi seperti misalnya PBB.
"Mereka yang akan kehilangan kekuasannya tidak akan menyukai hal ini. Tapi ini bukan masalah, tujuan kami adalah agar setengah dari rakyat negeri ini mendapatkan hak-hak yang sama," tegas Jalal. (ln/iol)