Harga Minyak Akan Mencapai US$ 200 Perbarel!

Ekonomi dan industri gobal akan mengalami ‘kiamat’ akibat krisis politik yang terus mencapai eskalasi, dan terjadinya perubahan yang sangat luas di dunia Arab dan Afrika Utara sekarang. Belum dapat diprediksi, bagaimana akhair krisis yang sekarang ini masih berlangsung. Krisis politik yang ada sekarang akan berdampak melambungnya harga minyak, dan kemungkinan dapat mencapai harga US$ 200 perbarel.

Dampaknya ekonomi dan industri global akan mengalami kehancuran. Ekonomi dan industri negara Barat, yang sekarang ini bertumpu pada ‘emas hitam’, bisa mengalami stagnan, dan akan terus mengalami krisis, dan tidak akan mampu mengalami recoveri (bangkit) lagi.

“Kalau Libya dan Aljazair menghentikan produksi minyaknya bersama-sama, harga bisa mencapai puncak di atas US$ 220 per barel,” demikian ungkap seorang analis komoditas di Bank Nomura, Jepang, Kamis (24/2).

Sekarang produksi minyak sudah berhenti total.Para pekerja ekspatriat telah meninggalkan Libya, karena masalah keamanan. Semua negara Barat mengungsikan dan memulangkan warga negara, dan mereka menggunakan semua transportasi udara dan laut untuk mengevakuasi warga mereka.

Pertimbangan harga minyak berpotensi mencapai US$ 220 per barel, dengan membandingkan antara kerusuhan di Timur Tengah dan Afrika utara saat ini dengan perang Teluk 1990-1991.

“Kapasitas cadangan OPEC mungkin akan dikurangi, ke tingkat yang sama ketika Perang Teluk terjadi dan ketika harga minyak pada 2008 mencapai US$ 147 per barel."

Seperti diketahui, harga minyak mencapai level tertinggi di US$ 147 (baik Brent dan minyak mentah AS) pada Juli 2008, namun kemudian turun lagi seiring resesi di sebagian besar negara-negara barat yang mengurangi permintaan untuk minyak mentah.

Senada dengan Marco Dunand, ketua dan pendiri kelompok perdagangan energi Swiss, Mercuria Energy, yang memprediksi harga minyak bisa naik di atas US$ 150 per barel, jika kerusuhan terus menyebar.

"Saya tidak ingin berlebihan, tetapi ada skenario dimana minyak bisa melampaui US$ 150 dan hal ini terkait stabilitas di Timur Tengah, bila kekacauan ini mulai menyebar," katanya. Dunand memperkirakan kemungkinan minyak mencapai US$ 150 adalah sebesar 20%.

Hampir separuh produksi minyak Libya saat ini diperkirakan telah tutup, akibat krisis yang melanda negara tersebut. Produsen minyak swasta terbesar di Libya, ENI mengatakan, produksi minyak Libya telah anjlok 1,2 juta barel per hari akibat meningkatnya krisis. Padahal, negara ini biasanya menghasilkan 1,6 juta barel per hari.

Kekhawatiran bahwa kerusuhan di Libya dan Bahrain bisa menyebar ke negara-negara kaya minyak lainnya di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, menciptakan kecemasan akan pasokan, sehingga harga minyak mentah pun membubung tinggi.

Harga minyak Brent melonjak hampir US$ 120 per barel pada Kamis. Minyak mentah Brent sempat melompat US$ 8,54 ke US$ 119,79 per barel, tertinggi sejak Agustus 2008, sebelum akhirnya diperdagangkan pada US$ 113,93 per barel. Minyak Brent ditutup di US$ 112,20 pada Rabu, naik 5,4% pada hari itu.

Harga minyak telah naik 15% dalam empat hari terakhir. Minyak mentah AS untuk pengiriman April rally ke US$ 103,41, tertinggi sejak September 2009. Pasar khawatir kerusuhan bisa menyebar ke Arab Saudi, yang memompa sepersepuluh dari minyak dunia dan merupakan satu-satunya negara dengan kapasitas cadangan signifikan yang dapat digunakan untuk meredam kekurangan pasokan.

Analis di Goldman Sachs mengatakan gangguan lebih lanjut dapat menciptakan kelangkaan minyak "berat" yang akan memerlukan "permintaan penjatahan substansial". "Pasar tidak dapat menampung gangguan lain. Masalah di Libya berpotensi menyerap setengah dari kapasitas cadangan OPEC," kata analis komoditas bank Jeffrey Currie.

Tentu yang paling sengsara, negara Dunia Ketiga, yang miskin dan tidakmemiliki sumber cadangan minyak, dan tergantung dengan import minyak. Mereka akan mengalami ‘kiamat’, akibat krisis yang berkepanjangan di dunia Arab dan Afrika Utara sekarang.(mh/tm)