Seorang petinggi agen FBI diperlakukan diskriminatif oleh para seniornya sejak peristiwa serangan 11 September, hanya karena ia keturunan Arab. Padahal dari hasil penelitian awal Departemen kehakiman AS, agen tersebut dinyatakan berkualitas tinggi dan sangat berpengalaman.
Surat kabar The Washington Post edisi Selasa (18/7) dalam artikelnya mengungkapkan, kantor departemen yang terkait dengan tanggung jawab profesi juga menemukan ‘bukti yang cukup’ bahwa Agen Khusus Bassim Yusuf diturunkan tugasnya hanya melakukan pekerjaan-pekerjaan kantor dan tidak diberi penugasan sebagaimana layaknya seorang agen FBI, sejak 2002.
Laporan setebal 12 halaman menyebutkan bahwa FBI ‘telah memberikan dasar pemikiran yang tidak rasional’ atas tindakannya yang tidak mempromosikan Yusuf.
Seorang mantan anggota senior FBI dalam laporan tersebut mengungkapkan, mantan Direktur FBI, Robert Mueller ‘terkejut’ ketika tahu bahwa Yusuf telah menyampaikan keluhan atas perlakuan yang diterimanya ke senator dari partai Republik, Frank R. Wolf.
Laporan hasil penyelidikan kasus Yusuf yang diberikan Senator Charles E. Grassley pada The Washington Post juga menyebutkan bahwa Mueller-lah yang telah menyetujui ‘pemindahan’ Yusuf beberapa hari sebelum pertemuannya dengan Wolf dan Yusuf.
"Kami menemukan persoalan manajemen senioritas dan saat di mana terjadi kegagalan dalam mengimplementasikan penempatan pegawai sebagai bukti dari perihal adanya tindakan balas dendam," demikian bagian isi dari laporan tersebut.
FBI menolak berkomentar tentang kasus ini, dengan alasan gugatan Yusuf atas tindakan diskriminatif hanya karena ia keturunan Arab, masih berjalan.
Yusuf, kelahiran Mesir yang menjadi warga negara AS ini, bersikeras keahliannya dalam berbahasa Arab, masalah terorisme dan isu-isu Timur Tengah, telah diabaikan sejak serangan 11 September.
Ia mulai menyampaikan keluhannya secara formal setelah dipindahtugaskan ke unit anggaran pada Februari 2002. Yusuf kemudian dipindahtugaskan lagi ke unit pemrosesan dokumen-dokumen yang diambil dari Afghanistan dan negara-negara lainnya hingga kasus ini mengemuka.
Atas kasus diskriminatif ini, sejumlah pakar meyakini, persoalan ini bisa menimbulkan ketakutan di kalangan Muslim dan warga Arab Amerika untuk menjadi anggota FBI dan menganggu upaya untuk memberantas terorisme.
"Karena tindakan balas dendam ini, Kita kehilangan keahlian selama empat tahun dalam perang melawan terorisme dari seorang agen Amerika keturunan Arab yang sangat berpengalaman," ujar Grassley pada The Washington Post.
Kuasa hukum Yusuf, Stephen M. Kohn mengatakan, munculnya laporan itu sangat mengganggu karena mengindikasikan bahwa "FBI sedang bermain-main dengan masalah keamanan nasional pascaserangan 11 September."
"Apa yang salah dengan FBI adalah harus membuang waktu empat tahun dalam proses hukum dan penyelidikan yang dilakukan departemen kehakiman, hanya karena salah seorang pakar anti terorismenya yang handal ingin melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk memberantas terorisme," kata Kohn.
Yusuf yang pernah bertugas sebagai atase FBI di Arab Saudi selama empat tahun, banyak menerima pujian atas hasil kerjanya dari para atasannya. Khususnya manta Direktur FBI Louis J. Freeh, yang memuji hasil kerja Yusuf yang ‘sangat, sangat memuaskan’ dalam kasus pemboman Khobar Towers.
Dalam peristiwa itu, 19 tentara negara AS tewas ketika kelompok militan meledakkan truk yang penuh berisi bahan bakar ke dekat Khobar Towers di Arab Saudi, pada bulan Juni 1996.
Kasus diskriminasi yang dialami Yusuf, bukanlah kasus yang pertama, dilakukan oleh aparat penegak hukum di AS. Menurut organisasi pemantau hak asasi manusia, Amnesty Internasional, kasus semacam ini meningkat dalam beberapa tahun belakangan ini dan targetnya kebanyakan warga Muslim. (ln/iol)