Menteri Luar Negeri Palestina Dr. Mahmud Zahhar menegaskan bahwa pemerintahan persatuan nasional Palestina yang akan datang tidak akan mengakui eksistensi penjajah Zionis Israel. Karena yang menjadi rujukan pemerintah mendatang adalah Piagam Rekonsiliasi Nasional yang sudah disepakati semua faksi Palestina. Dalam piagam ini tidak ada keharusan untuk mengakui “Israel”. Dia menegaskan Hamas tidak akan ikut atau menjadi bagian dari pemerintahan yang mengakui penjajah Israel.
Zahhar mengatakan, bila ada pihak Palestina yang mau mengakui “Israel’, maka silahkah masuk. Tapi kami tidak akan ikut pemerintahan yang mengakui penjajah.” Menurutnya, pengakuan terhadap eksistensi penjajah Zionis Israel menjadi bahaya, bukan saja bagi persoalan Palestina sendiri namun juga bangsa-bangsa dan rakyat Palestina. Bahkan akan berdampak kepada sebagian tanah Libanon dan Suriah, serta Al-Quds yang sampai kini dikangkangi Israel berdasarkan keputusan parlemen mereka.
Zahhar menegaskan, sikap gerakannya jelas yaitu mengajukan gencatan senjata. Dan itu bukan berarti mengakui Israel namun menangguhkan kondisi saat ini untuk jangka waktu tertentu dengan syarat-syarat tertentu. Bila syarat-syarat itu dipatuhi (Israel) maka Hamas komitmen dengan gencatan. Namun apabila tidak ada komitmen dengan syarat-syarat itu maka masing-masing pihak bebas mengambil langkah apa yang dilihatnya sesuai.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Otoritas Palestina (Fatah) sejak kesepakatan Oslo pada September 1993 hingga berakhir masa pemerintahan (Fatah) dengan mengakui eksistensi penjajah Zionis Israel “tapi apa yang diperoleh pemerintahan (Fatah) dengan mengakui Israel?” ungkap Zahhar mempertanyakan komitmen Israel.
Siap Gencatan 10 Tahun
PM Palestina Ismail Haniyah menegaskan, sikap Hamas sangat jelas tidak akan mengakui Israel. Namun demikian pihaknya siap menerima pendirian negara Palestina dengan supremasi penuh di atas wilayah Palestina 1967 yang menjamin hak kembali pengungsi Palestina di luar negeri dengan kompensasi gencatan senjata dengan Israel, tapi tidak menjamin pengakuan terhadap eksistensinya di Palestina.
Seperti dikutip harian al-quds al-arabi, Sabtu (23/09), Haniyah mengatakan, “Kami menerima pendirian negara Palestina dengan supremasi penuh di atas tanah Palestina 1967, dengan kepastian hak kembali pengungsi Palestina ke tanah mereka. Kompendasi dari itu kami siap melakukan gencatan senjata, tapi bukan untuk mengakui Israel.”
Ahmad Yusuf, Penasehat Politik Haniyah, juga menyatakan bahwa pemerintah Palestina mendatang tidak akan mengakui Israel namun siap melakukan gencatan senjata selama 10 tahun dengan Israel.
Menurutnya, Hamas memiliki persepsi yang jelas tentang negosiasi. Yaitu dengan gencatan senjata selama 10 tahun. Dia menjelaskan, kelompok Islam tidak akan mau menjadi bagian atau memimpin pemerintahan yang mengakui Israel.
Pernyataan para petinggi Hamas ini menyusul permintaan Fatah agar Hamas mau mengakui Israel sebagai syarat berdirinya negara Palestina. “Ada syarat-syarat yang ditetapkan untuk bisa merealisasikan berdirinya negara Palestina dan mengakhiri penjajahan Israel. Yaitu syarat-syarat yang ditetapkan Presiden Mahmud Abbas dalam pidatonya di depan Majlis Umum PBB,” ungkap jurubicara gerakan Fatah Ahmad Abdul Rahman, Sabtu (23/09).
Abdul Rahman menambahkan, “Yang penting bagi Fatah adalah sikap resmi pemerintah persatuan nasional yang baru nanti sebagai wakil mayoritas dan memiliki bidang-bidang politik bersama yang komitmen dengan kesepakatan-kesepakatan yang ditandatangani PLO.”
Syarat-syarat yang dimaksud jurubicara Fatah adalah apa yang disampaikan Abbas dalam pidato di hadapan Majlis Umum PBB, yaitu mengakui eksistensi negara penjajah Israel, meninggalkan perlawanan dan mengakui kesepakatan-kesepakatan sebelumnya yang dilakukan PLO dengan Israel. (was/qa-pic-im)