Berita akan terbentuknya kabinet pemerintahan koalisi kembali berhembus di Palestina. Lajnah Pusat gerakan Fatah, akhirnya menetapkan siap bergabung dalam kabinet pemerintahan koalisi di bawah Hamas, sesuai prinsip dan kesepakatan nasional. Tapi keputusan itu dengan syarat, Presiden Mahmud Abbas mengajukan proposal politik kepada PBB untuk memecahkan konflik Palestina dan Israel.
Keputusan ini disambut baik oleh Hamas. Jubir Hamas Sami Abu Zuhri mengatakan kepada Reuters di Ghaza, bahwa Hamas menyambut keputusan Fatah untuk mendukung kabinet pemerintahan nasional bersatu dengan menyebutkan, “Ini adalah awal yang baik dan sangat bisa menciptakan suasana yang kondusif guna menyambung musyawarah tentang pembentukan pemerintahan.” Hamas menegaskan bahwa pihaknya tidak meletakkan syarat apapun untuk mendiskusikan masalah ini.
Di sisi lain, Dr. Shalah Bardaweil, jubir publikasi Hamas di legislatif mengattakan, bahwa Hamas mungkin saja menerima beberapa syarat untuk keterlibatan Fatah dalam pemerintahan nasional. Ini karena keputusan Fatah bagaimanapun adalah simbol formal yang bisa menjembatani interaksi secara mendasar dengan Fatah.
Lajnah Pusat Fatah, menetapkan penugasan kepada Presiden Palestina Mahmud Abbas (Abu Mazin) guna membentuk pemerintahan nasional bersatu bersama Hamas. Hal ini dikemukakan dalam penutupan pertemuan 3 hari di Yordania, Yaman. Ini adalah pertemuan pertama sejak kekalahan Fatah dalam pemilu parlemen yang berlangsung pada Januari yang lalu.
Tentang penolakan Jihad Islami untuk masuk dalam pemerintahan nasional, Bardaweil mengatakan bahwa keterlibatan di pemerintahan bukan sesuatu yang bersifat memaksa. “Kami ingin pemerintahan yang terbentuk luas dari berbagai pihak di Palestina. Tapi ini tidak berarti kami memaksa semua pihak untuk terlibat dalam pemerintah. Mungkin ada kelompok yang tidak ingin berkoalisi dalam pemerintahan, dan ingin mengambil haknya sebagai kelompok oposisi di luar pemerintah,” katanya.
Di sisi lainnya, Hamas juga tengah membahas ketetapan Lajnah Pusat Gerakan Fatah yang menugaskan Presiden Palestina Mahmud Abbas, untuk mengajukan proposal politik kepada PBB, bersandar keputusan Liga Arab di Beirut tahun 2002, soal solusi konflik Palestina-Israel. Keputusan Beirut itu termasuk komitmen negara-negara Arab untuk memberlakukan normalisasi hubungan dengan Israel, dengan konsekwensi penarikan terakhir tentara Israel dari tanah pendudukan yang dirampas tahun 1967, termasuk di dalamnya lokasi Al-Quds atau Jerussalem.
Terkait dengan masalah ini, Bardaweil mengatakan, Fatah tidak mempunyai hak untuk meminta Presiden Mahmud Abbas mengajukan proposal perdamaian kepada PBB berdasarkan keputusan Konferensi Liga Arab. “Masalah ini sangat terkait dengan kehendak bangsa Palestina secara keseluruhan,” ujarnya. Bardaweil lebih mendukung sikap Presiden Palestina yang berniat untuk mengkaji kembali masalah ini dengan perundingan bersama berbagai anasir Palestina hingga mengeluarkan rumusan tertentu tentang proposal nasional yang dilandasi kesepakatan nasional, yang pernah disepakati sebelumnya.
Hamas sendiri telah menyatakan sikapnya terhadap dokumen Beirut yang menyatakan setuju menerima negara Palestina dengan batas 1967. Di mana Hamas menolak semua kesepakatan yang lahir antara PLO dan Israel dalam waktu lalu, karena dianggap telah mengurangi hak dan masalah prinsip Palestina, serta tidak menerima minimum wilayah Palestina hanya sebatas batas perampasan tahun 1967, termasuk Al-Quds. (na-str/iol)