Hamas Ingin Damai, Abbas Justru Undang Pasukan Asing ke Ghaza

Di tengah tekanan untuk membuka pintu dialog guna mengatasi krisis internal di Palestina, Presiden Palestina Mahmud Abbas justru melakukan tindakan kontroversial dan dianggap sangat berbahaya. Abbas, meminta agar pasukan internasional didatangkan dan mengepung Ghaza.

Abbas secara terang-terangan mengatakan hal ini saat menutup pembicaraannya dengan Presiden Prancis Nikola Sarkozy di ibukota Prancis, Paris (29/6). Dalam kesempatan itu, Abbas mengatakan dirinya telah mempersiapkan penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu presiden lebih awal di Palestina, serta merencanakan kehadiran pasukan internasional di Ghaza untuk mengamankan pemilu. Abbas bahkan mengatakan pula bahwa ia menginginkan pasukan internasional itu secara permanen ditempatkan di Ghaza.

Abbas juga menyatakan penolakannya untuk membuka dialog dengan Hamas meskipun banyak pihak-pihak penting di Palestina yang menghendaki adanya dialog tersebut. “Saya mendapat dukungan besar dari Presiden Prancis sebagaimana disampaikan oleh Menlu Prancis Bernard Koshter bahwa Prancis memberi dukungan besar pada Abbas, ” ujar Abbas.

Abbas bahkan sudah menyampaikan pula pikirannya untuk melibatkan pasukan Prancis di Palestina, bila rencana kehadiran pasukan asing itu telah bisa diaplikasikan.

Berbagai elemen perjuangan Palestina telah menolak keinginan Abbas untuk mendatangkan pasukan asing tersebut. Karena menurut mereka, kehadiran pasukan asing, tak mungkin hanya difungsikan untuk mengamankan Ghaza saja, melainkan untuk memukul berbagai kekuatan perjuangan Palestina yang selama ini menolak kehadiran Israel. Hamas sebagai kekuatan terbesar di Palestina telah menegaskan bahwa pasukan asing yang datang ke Palestina akan disikapi sama dengan penjajah Zionis Israel.

Anehnya, pernyataan Abbas soal kehadiran pasukan asing itu dikeluarkan beberapa saat setelah kepala biro politik Hamas Khalid Mishal untuk kesekian kalinya mengulurkan tangan untuk berdialog dengan Fatah. “Saat ini Hamas sedang mencari pihak mana yang bisa menjadi mediator dialog antara Hamas dengan Fatah. Peran itu bisa dilakukan oleh negara Arab atau negara Islam untuk menyelesaikan berbagai masalah di Ghaza. Mishal bahkan menegaskan dialog itu akan mementingkan syarat utama, untuk mengedepankan pembangunan pengamanan yang lebih kuat secara nasional, dan bukan berdasarkan kelompok, organisasi maupun partai. (na-str/pic)