Konflik berdarah yang tumpah di tanah Palestina, belum berhasilnya Hamas mengendalikan kondisi dalam negeri yang terus menerus digoyang kelompok-kelompok yang anti dengan prinsip-prinsipnya, ditambah blokade Israel dengan dukungan negara Barat yang semakin ketat, memunculkan ide agar Hamas meninggalkan tampuk pemerintahan Palestina dan sementara cukup menguasai legislatif saja.
Itulah ide dan pemikiran yang dilontarkan sejumlah pengamat dan pakar masalah Palestina, terkait perkembangan politik, keamanan dan ekonomi Palestina pascakemenangan telak Hamas dalam pemilu.
Kepada Islamonline, sejumlah pakar mengatakan, bertahannya Hamas dalam posisi penguasa Palestina bisa membawa bahaya yang sangat buruk, sekaligus bisa mencabut dukungan publik yang selama ini diberikan kepada Hamas. Bahkan bisa berpengaruh juga pada alternatif perlawanan bersenjata yang menjadi jargon perjuangan Hamas mengusir penjajah Zionis Israel.
Para pengamat itu mengatakan, hendaknya Hamas sementara ini cukup menguasai legislatif saja sehingga Hamas bisa melakukan perjuangannya secara lebih baik dan menghindari perpecahan internal dengan tetap berpegang pada konstitusi nasional.
Hingga saat ini, sudah 9 orang Palestina yang meninggal, dan lebih dari 135 orang terluka akibat sejumlah konflik yang terjadi di Ghaza sejak bulan Oktober ini. Konflik terjadi antara pendukung Hamas melalui aparat keamanan di bawah Departemen Dalam Negeri dan pendukung Fatah bersenjata pro Presiden Abbas.
Pengamat politik Palestina Hane Mishri menganggap keberadaan Hamas di tampuk penguasa Palestina, ibarat pengemudi bis yang tidak memiliki kesempatan untuk mengarahkan setir mobilnya. Sehingga bila ia tetap mengendarai mobil tersebut, akan terjadi tabrakan yang membahayakan banyak penumpangnya.
“Saat ini, kursi pemerintah dan perlawanan bersenjata belum bisa dipadukan,” katanya. Ia juga menganggap Hamas mengalami kerugian setiap hari karena tekanan dari berbagai pihak. “Tidak ada keuntungan nyata bagi Hamas. Modal pemerintahannya adalah perlawanan dan masyarakat Palestina telah memilih Hamas karena mereka telah mengenal dan mengetahui program perlawanan Hamas. Tapi Hamas hari ini dihadapi dengan realitas politik yang benar-benar berbenturan dengan kesepakatan internasional yang ditunggangi Barat,” ujarnya.
Meski demikian Mashri mengatakan dirinya tidak menganjurkan Hamas harus tunduk dengan kesepakatan internasional yang zalim terhadap Palestina. Ia juga tidak memandang Hamas harus menyerah dengan syarat pencabutan blokade atas pemerintahannya. Tapi ia mengaku bahwa pandangannya itu didasari atas sulitnya Hamas menghindar dari situasi yang seperti buah simalakama jika Hamas tetap bertahan di kursi pemerintahan Palestina.
Senada dengan Mashri, dosen ilmu politik Universitas Najah Nasional di Nablus juga mengatakan keberadaan Hamas di pemerintahan akan membawa dampak yang merugikan Hamas dan publik Palestina sendiri. “Ada jurang yang nyata di hadapan Hamas. Sekarang sudah sangat jelas, bahkan jika Hamas harus tetap berada di eksekutif Palestina, Hamas sudah harus merubah program pemerintahannya sebagaimana pernah dilakukan Fatah. Tapi itupun mustahil dilakukan, karena Hamas tidak mungkin mencoreng imej perlawanannya di hadapan masyarakat Palestina yang telah mendukungnya.”
Namun begitu, Hamas hingga saat ini masih tetap berpegang pada prinsip perjuangan mereka menanggapi berbagai pemikiran agar Hamas meninggalkan tampuk pemerintahan eksekutif. Fauzi Barhum, jubir resmi Hamas mengatakan kepada Islamonline, “Program politik Hamas sudah jelas dan tak mungkin lagi dirubah. Hamas akan tetap berpegang pada perlawanan mengusir Zionis.” Pada waktu yang sama, Barhum juga menegaskan bahwa Hamas akan mampu mengkombinasikan politik dan perlawanan yang diusungnya.
Ia juga menyatakan, Hamas tidak akan menyerah menghadapi tuntutan AS dan tidak akan pernah mengakui Israel. “Kami menghormati pandangan para pakar terhadap realitas politik Palestina. Tapi Hamas akan tetap pada prinsipnya yang juga menjadi prinsip masyarakat Palestina. Semuanya harus ingat dengan apa yang dilakukan pemerintah sebelum ini setelah mengakui dan menyetujui persyaratan yang diajukan Israel dan Barat dalam aspek politik dan keamanan. Apa akibatnya? Ternyata mereka justeru memblokade mendiang presiden Palestina Yaser Arafat dan bahkan membunuhnya,” tandas Barhum. (na-str/iol)