Guna mencegah pertikaian lebih tajam Pemerintahan Kabinet Hamas di Ghaza menerapkan larangan menggelar shalat Jum’at di lapangan terbuka. Larangan yang merupakan dampak dari sikap Fatah dan pendukungnya yang melakukan provokasi politik dalam peristiwa shalat Jum’at ini, dilaksanakan pada hari Jum’at kemarin (7/9). Bentrokan pun terjadi, hingga mengakibatkan 10 orang terluka. Tapi tak lama kemudian, kepolisian Ghaza yang menangkap petinggi nomor satu Fatah dalam insiden bentrokan itu, segera melepaskannya bersama tiga orang petinggi Fatah yang lainnya.
Sejumlah polisi Ghaza memang sudah berjaga untuk mengantisipasi berbagai situasi yang tidak dinginkan. Apalagi terdengar kabar, bahwa pendukung Fatah tetap akan melakukan shalat di lapangan terbuka di Ghaza dan akan melakukan aksi demonstrasi pascashalat Jum’at. Karenanya, polisi terpaksa menghalangi para pendukung Fatah yang mulai berkumpul di lapangan Al-Katiba di Barat Ghaza. Sejumlah orang terpaksa ditangkap karena melakukan perlawanan. Termasuk Zakaria Agha, tokoh pertama pimpinan Fatah di Ghaza, juga Ibrahim Abu Naja, Ahmad Nashr dan Jamela Shaidam.
Kementerian Kabinet Hamas di Ghaza mengatakan, pihaknya memang menahan sejumlah orang yang terlibat aksi provokasi jelang shalat Jum’at. “Dari penyelidikan diperoleh fakta bahwa mereka memang sengaja melakukan provokasi, menyebarkan fitnah, memotong gaji pegawai, dan memandulkan aktifitas kementerian kesehatan dan rumah sakitnya, bahkan juga melakukan teroroterhadap warga, ” ujar salah satu polisi Hamas di Ghaza. Namun, guna tidak memperkeruh suasana, hanya beberapa jam, para petinggi Fatah itu pun dilepaskan begitu saja oleh Hamas.
Situasi berbalik terjadi di Tepi Barat. Meski Hamas berulangkali menunjukkan sikap bijak untuk tidak memperkeruh suasana ketegangan yang ada dengan tidak mempolitisir kegiatan ritual keagamaan, shalat Jum’at di Tepi Barat, tempat Presiden Palestina Mahmud Abbas melakukan shalat di sebuah gedung di Ramallah, Tepi Barat, justru dicederai oleh do’a seorang imam yang mengutuk Hamas. Ia mengatakan, “Hamas telah menghancurkan rumah Allah, menyebarkan pemikiran rusak dan menggadaikan serta menggulingkan pemerintah yang sah.
Imam yang juga merupakan Menteri Urusan Sosial Kabinet Fatah di Tepi Barat itu bernama Mahmu Hibasy. Itulah shalat Jum’at pertama dalam sejarah Palestina yang ternodai oleh ungkapan do’a untuk sesama bangsa Palestina sendiri. Sedangkan di Ghaza, Hamas cenderung diam dan berupaya menghindari masjid dan aktifitas ritual keagamaan dari masalah perbenturan maupun keamanan.
Dalam pernyataan sikapnya, Hamas mengatakan, “Menggunakan media shalat Jum’at untuk berdo’a yang buruk terhadap sesama saudara di Palestina, itu menghilangkan seruan persatuan dan kejujuran dalam menghadapi penjajahan Israel. Terlebih hal ini dilakukan menjelang hari-hari masuknya bulan Ramadhan. Ini adalah masalah yang menodai pemerintahan Ramallah yang dipimpin Fayadh. ” (na-str/iol)