Menurut organisasi Hak asasi Manusia di China, praktek pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah China terhadap Muslim Uighur yang tinggal di wilayah Turkistan Timur “Xinjiang”, telah menyebabkan meningkatnya ketegangan etnis di wilayah tersebut.
Shopia Richardson, penanggung jawab dalam organisasi tersebut mengatakan pembatasan budaya dan agama yang dilakukan oleh pemerintah terhdap Muslim Uighur menyebabkan peningkatan ketegangan etnis antara China Han dan Uighur di wilayah Turkistan yang di dominasi Muslim. Menurut Anatolia.
Richardson melihat bahwa orang-orang Uighur masih merasakan menjadi kaum Minoritas yang hidup di negera asalnya, dan China telah memberlakukan banyak pembatasan pada mereka yang bahkan telah mencampuri urusan adat istiadat serta hubungan-hubungan masyrakatnya.
Dalam hal ini, Stephen Gordon, Profesor di fakultas Ilmu Politik di Universitas Lester Inggris, mengatakan infrastruktur yang dibangun di Turkistan Timur bertujuan untuk melayani orang-orang China dan usaha mereka dalam menginvestiasikan sumber daya alam di wilayah tersebut, dan masyarakat lokal tidak pernah mendapatkan manfaat dari proyek pelayanan tersebut.
Pernyataan tersebut datang setelah pernyataan yang dibuat oleh pejabat China, dimana mereka menuduh bahwa Separatis Uighur berada di balik pemboman salah satu stasiun kereta api di kota Orumaja di ibukota provinsi Turkistan timur pekan lalu, yang menewaskan satu orang dan melukai 79 orang lainnya.
Para pengamat menunjukkan bahwa meningkatnya jumlah imigran yang berasal dari China han (wilayah Turkistan Timur) merupakan salah satu faktor yang peling penting dalam memicu konflik etnis antara suku Uighur dan China han, terutama karena Imigrasi ini diselenggarakan oleh Pemerintah China, yang berjanji menjamin peluang kerja bagi mereka disana, dan data statistik di provinsi Turkistan Timur (Xinjiang) menunjukkan bahwa jumlah china han di wilayah tersebut meningkat dari 220 ribu jiwa – menurut sensus 1949 – menjadi 8,4 juta jiwa pada tahun 2008.(hr/im)