Meski sudah menarik semua pasukan militernya, Israel belum sepenuhnya mundur dari Jalur Gaza. Sampai sekarang masih ada "kekuatan tak terlihat" yang menguasai wilayah Palestina itu.
Itulah kesimpulan Centre for the Legal Protection of Freedom of Movement (Gisha)-sebuah organisasi yang berbasis di Israel-dalam laporan yang dimuat di situs resminya, Kamis (18/1).
Laporan itu antara lain menyebutkan, "Israel masih mengontrol Gaza melalui ‘tangan yang tak terlihat’. Israel belum melepaskan kontrolnya terhadap Gaza, disatu sisi Israel menarik sejumlah elemennya tapi secara signifikan masih memperketat elemen kontrol lainnya."
Lebih lanjut laporan Gisha menyatakan, "Penarikan mundur Israel dari pemukiman dan instalasi-instalasi militernya di Jalur Gaza tidak mengakhiri penguasaan Israel di Gaza, tapi hanya mengubah cara untuk mengefektifkan kekuasaan itu."
Menurut Gisha, hal ini trelihat dari kenyataan bahwa warga Gaza masih bergantung pada keputusan Israel jika mereka ingin menggunakan listrik, membeli susu bahkan untuk sekedar membuang sampah.
Israel, tegas Gisha, masih memperketat kontrol di perbatasan-perbatasan, wilayah udara, perairan, pendataan warga, sistem pajak dan persediaan makanan di Jalur Gaza.
"Kontrol Israel di Jalur Gaza terlihat dari kehadiran tentara-tentara Israel secara sporadis dan serangan-serangan artileri dari sepanjang perbatasan Gaza, " jelas organisasi itu.
Israel bahkan masih menguasai utara Gaza yang pada Desember 2005 secara sepihak dinyatakan sebagai wilayah yang tidak boleh dilalui warga Palestina. Israel juga masih memanfaatkan perbatasan-perbatasan Gaza untuk mengawasi gerakan warga dan arus keluar masuk barang bagi warga Palestina.
Fakta bahwa Israel tidak sepenuhnya mau hengkang dari Jalur Gaza, terungkap dalam dokumen-dokumen internal militer Israel. Dokumen tersebut menyebutkan, Israel akan menggunakan perbatasan Rafah untuk menekan Palestina agar membebaskan Gilad Shalit, serdadu Israel yang kini masih ditawan para pejuang Palestina.
Padahal, pembatasan Israel di Rafah yang merupakan pintu gerbang bagi warga Gaza, telah menyebabkan krisis kemanusian di Gaza.
"Tindakan Israel sejak September 2005, telah memberi kontribusi atas krisis ekonomi dan kemanusiaan di Gaza, " tulis Gisha.
"Israel telah menerapkan pembatasan yang ketat terhadap impor, yang menyebabkan antara lain kekurangan bahan-bahan kebutuhan dasar warga Gaza dan mengancam kesejahteraan dan kesehatan mereka, " papar Gisha.
Dalam laporannya, organisasi itu juga menuding Israel telah memblokade upaya otoritas Palestina dalam upaya memberikan bantuan bagi warga setempat. Antara lain dengan menguasai dan mengontrol sistem pajak di wilayah Palestina. Israel bahkan sengaja membekukan dana bulanan yang menjadi hak rakyat Palestina, yang berasal pendapatan pajak.
Yang lebih memprihatinkan lagi, Israel-lah yang memegang kontrol atas penduduk Palestina. "Definisi tentang siapa ‘orang Palestina’ dan siapa penduduk Gaza serta Tepi Barat, diputuskan oleh militer Israel, " tukas Gisha.
"Bahkan ketika perbatasan Rafah dibuka, hanya pemegang kartu identitas yang menyatakan sebagai warga Palestina yang boleh masuk Gaza melalui perbatasan. Mereka melakukan kontrol terhadap pendataan warga Palestina dan siapa saja yang boleh masuk dan meninggalkan Gaza, " tambahnya. (ln/iol)