Sebuah solusi bagi krisis politik Tunisia ada pada Rached Ghannouchi, pemimpin partai Islam – Ennahda (An Nahdah),
Ghannouchi, yang diberi gelar “Syaikh” oleh para pendukungnya, menyatakan niatnya dengan jelas pada 16 Februari dengan mengatkan bahwa “Ennahda … tidak akan menyerahkan kekuasaan, selama itu bermanfaat bagi kepercayaan diri rakyat dan legitimasi pemilu.”
Tiga hari kemudian, orang kedua dalam partai Ennahda, Hamadi Jebali, mundur sebagai perdana menteri setelah gagal mendapatkan dukungan dari partainya sendiri atas usulannya membentuk sebuah pemerintah teknokrat non partisan, yang menurut Jebali untuk mengeluarkan Tunisia dari krisis sejak pecahnya revolusi dua tahun lalu.
Pembunuhan Chokri Belaid pada 6 Februari, sebuah kritik bagi Ennahda, memperburuk krisis yang telah berlangsung berbulan-bulan yang disebabkan meningkatnya ketegangan antara para aktivis Islam dengan aktivis liberal.
Pembunuhan Belaid memicu konflik berdarah antara pendukung oposisi dengan polisi, serangan ke kantor-kantor Ennahda, serta memberikan citra buruk pada perpecahan politik di Tunisia yang semakin memburuk.
“Rached Ghannouchi, pemimpin Ennahda selama 35 tahun, saat ini … adalah pemimpin Tunisia,
Ghannouchi memiliki legitimasi yang tak terbantahkan dalam partainya, yeng memungkinkannya menghalau usulan Jebali, bahkan para tokoh moderat dari dalam kubu Ennahda.
“Ghannouchi dihormati oleh seluruh pendukung (Ennahda) dan juga oleh mereka yang mengkritisi kebijakan-kebijakannya,” Pengamat politik Slaheddine Jourchi menyampaikan.
“Jadi semua yang ingin berhubungan dengan pemerintah harus melaluinya (Ghannouchi),” kata Jourchi.
“Harus dipahami bahwa Ghannouchi memegang peran dalam setiap keputusan penting di Tunisia, mengatur tempo serta memimpinnya,” harian La Presse melaporkan.
(Ds/Al-Arabiya)