Israel dengan dukungan AS, masih setengah hati untuk menghentikan serangannya ke Libanon. Israel hanya bersedia menghentikan serangan lewat udara selama 48 jam, tapi tetap melakukan operasi militer pasukan daratnya ke Libanon.
Israel menyatakan kesediaannya menghentikan serangan udara ke Libanon selatan mulai hari Minggu tengah malam, setelah Menlu AS Condoleeza Rice bertemu dengan PM Israel Ehud Olmert. Pertemuan itu dilakukan setelah Israel dan AS dikecam dunia internasional, setelah serangan membabi buta Israelke Qana, selatan Libanon yang menyebabkan sekitar 60 warga sipil tewas.
Menurut juru bicara departemen luar negeri AS di Yerusalem, Adam Ereli, Israel bersedia menghentikan serangan udaranya guna penyelidikan tragedi Qana. Namun pasukan darat Israel tetap akan melakukan operasi militernya di Libanon dan menurut Ereli, Israel punya hak ‘untuk mengambil tindakan terhadap target-target yang dipersiapkan untuk menyerang Israel.’
Lebih lanjut Ereli mengatakan, Israel akan berkordinasi dengan PBB selama 24 jam penghentian serangan untuk memberikan kesempatan bagi warga sipil di selatan Libanon yang ingin mengungsi.
Dalam pernyataannya, Dewan Keamanan PBB menyatakan ‘penyesalan yang mendalam’ atas serangan brutal Israel ke Qana, namun DK PBB tidak menyerukan Israel untuk menghentikan serangannya.
Serangan udara Israel ke Qana, hari Minggu (30/7) merupakan serangan paling brutal yang dilakukan Israel selama 19 hari agresi militernya ke Libanon. Israel berdalih Qana adalah basis Hizbullah dan sudah meminta warga Qana untuk meninggalkan wilayah itu sebelum serangan dilakukan.
Pihak Libanon membantah dalih Israel dan mengatakan, bagaimana warga di selatan Libanon itu bisa mengungsi di tengah bombardir Israel terhadap jalan-jalan raya dan kendaraan yang menjadi alat transportasi mereka.
Dunia Kecam Israel dan AS
Atas serangan Israel yang makin brutal ke Libanon, aksi protes di seluruh dunia makin meluas. Para pemimpin Arab dan Islam menyatakan mengutuk serangan Israel ke Qana. Di Beirut, terjadi unjuk rasa ke kantor-kantor perwakilan PBB sementara ribuan orang lainnya meneriakan yel-yel ‘Deat to Israel, Death to Amerika’.
Di kota Gaza, sekelompok orang bersenjata menyerbu dan mengobrak-abrik kantor PBB dalam aksi protes terhadap pemboman Israel di Qana. Sedikitnya dua orang terluka dalam insiden ini.
Pemerintahan Bush yang selama ini mendukung tindak-tanduk Israel, juga menuai kritikan tajam dari dalam Amerika Serikat sendiri. Mantan Menteri Luar Negeri AS, Warren Christopher dalam tulisannya di surat kabar The Washington Post menyatakan, keputusan pemerintahan Bush yang menolak segera memberlakukan gencatan senjata, merupakan lampu hijau bagi Israel untuk terus membombardir Libanon.
"Setiap hari, Amerika memberikan lampu hijau bagi Israel untuk melanjutkan kekerasannya. reputasi kami yang sudah terkoyak-koyak sudah tenggelam, bahkan makin dalam," tulis Christopher.
Ia juga menilai Menlu AS, Condoleezza Rice tidak berniat untuk menghentikan konflik. Christopher bahkan menuding Rice gagal menghentikan peperangan, karena tidak mampu melakukan pendekatan dengan Suriah dan Iran.
Sejumlah analis mengatakan, jika Rice gagal membuat sebuah kesepakatan, maka akan menimbulkan kesan bahwa AS bukan mediator yang jujur.
"Amerika bertanggung jawab atas perilaku Israel. Jika dia (Rice ) kembali ke Washington tanpa gencatan senjata, maka Rice sudah gagal," kata Shibley Telhami dari Brookings Institution.
Libanon Tolak Rice
Menyusul tragedi di Qana, pemerintah Libanon hari Minggu kemarin mem-persona non grata-kan (orang yang tidak disukai ) Menlu AS Condoleezza Rice.
PM Libanon Fuad Siniora mengatakan, ia tidak mau menerima kedatangan Rice di negerinya dan tidak mau melakukan pembicaraan apapun untuk menyelesaikan krisis, kecuali gencatan senjata segera dilakukan.
Siniora menyebut serangan Israel ke Qana sebagai ‘kejahatan perang’ dan justru menyampaikan terima kasih pada Hizbullah. "Saya berterima kasih pada Sayyid Hassan Nasrullah (pemimpin Hizbullah ) atas usaha kerasnya dan saya berterima kasih pada semua yang telah mengorbankan nyawanya untuk kemerdekaan Libanon," ujar Siniora.
Serangan udara Israel untuk sementara berhenti, menyusul kesediaan kaum Zionis itu untuk menahan diri selama 48 jam. Namun, pertempuran darat terus berlanjut di Libano, karena pasukan darat Israel tetap melanjutkan operasi militernya untuk mewujudkan rencana mereka membentuk ‘zona keamanan’ di wilayah Libanon.
Kepala Operasi Militer Israel Jenderal Gadi Eisenkaut menargetkan, sudah dapat membentuk ‘zona keamanan’ sepanjang dua kilo meter di wilayah Libanon sampai tidak ada tanda-tanda keberadaan dan infrastruktur Hizbullah.
Sepanjang hari Minggu kemarin, Hizbullah menembakkan 156 roketnya ke kota-kota di utara Israel. Militer Israel mengaku lima orang terluka akibat roket-roket Hizbullah, padahal palang merah Israel menyebut angka 15 orang luka. (ln/iol/aljz)