Ketegangan di Mogadishu, Ibukota Somalia belum berakhir. Warga sipil berbondong-bondong mengungsi setelah kesepakatan antar pemimpin kabilah kota itu dan pemerintah yang didukung pimpinan militer Ethiopia dinyatakan gagal. Arus pengungsian ini merupakan gelombang pengungsian terbesar di Somalia selama 16 tahun terakhir.
Ketakutan melanda warga sipil karena kontak senjata akan semakin sengit terjadi antara pasukan militer Ethiopia yang mendukung pemerintahan transisi, berhadapan dengan para pejuang Somalia.
Salah seorang relawan PBB mengatakan kepada Islamonline, “Sekitar 40 ribu orang mengungsi dari Mogadishu. Mayoritas anak-anak, kaum perempuan dan orang-orang tua. Mereka takut pecah pertikaian senjata antara militer Ethiopia dan pemerintah, melawan pejuang perlawanan Somalia. Inilah gelombang pengungsian terbesar yang terjadi di Mogadishu sejak 16 tahun terakhir. ”
Menurut Islamonline, kebanyakan pegungsi mengarah ke sejumlah kota terdekat seperti Eil Beyad yang berjarak sekitar 20 km selatan Mogadishu, kota Ajawi 30 km Selatan Mogadishu, Marka 90 km Selatan Mogadishu, Syalambud 80 km Selatan Mogadishu, Bal’ad 30 km utara Mogadishu, dan Jaohar 90 km utara Mogadishu. Yang jelas mereka mencari lokasi yang dianggap paling aman dan terjangkau untuk persiapan perjalanan yang mereka miliki. Gelombang pengungsian ini meledak setelah gagalnya kesepakatan gencatan senjata antara tentara Ethiopia dan pimpinan qabilah Hawiyah pada hari Sabtu (24/3). Sejak itu, seluruh kehidupan kota Mogadishu pun nyaris lumpuh.
Para pengungsi diberitakan berada dalam kondisi sangat memprihatinkan, mengingat mereka berangkat dengan perbekalan apa adanya. Di kalangan pengungsi kini telah menyebar wabah penyakit berbahaya, seperti penyakit kolera yag sudah merenggut nyawa puluhan anak-anak sejak Maret ini.
Menurut Shalah Syaikh, Direktur Rumah Sakit Kepolisian di Mogadishu, “Rumah sakit sudah tidak mampu lagi menangani pasien yang menderita kolera. Beban kami bertambah, karena juga harus mengobati orang-orang yang terluka dari konflik senjata sejak dua hari Rabu dan Kamis. Sudah bisa dipastikan, kondisi warga yang mengungsi di luar Mogadishu saat ini lebih buruk lagi. Penyakit mewabah di kalangan orang tua dan anak-anak, ditambah lagi mereka tidak memiliki persediaan air minum yang bersih dan kondisi makanan yang buruk. ”
Kota Afjawi, 30 km sisi barat Mogadishu, kini dipenuhi dengan para pengungsi. Harga bahan pokok pun meningkat tajam. Kebanyakan pengungsi memilih tinggal di wilayah Eil Bayad yang berjarak 20 km Selatan Mogadishu. Mereka hidup di bawah pohon-pohon yang dijadikan sebagai tempat tinggal sementara.
Ahmad Ali, penduduk asli Afjawi mengatakan, “Kota ini menjadi asing bagi kami. Penduduk Mogadishu terus mengalir mengungsi ke kota ini sejak terjadinya kontak senjata di Mogadishu. Mereka hidup dalam kondisi buruk, karena tersebarnya wabah kolera yang menimpa anak-anak. Ada puluhan anak yang harus dibawa ke rumah sakit setiap harinya. ”
Selain itu, menurut Ahmad Ali, harga bahan pokok menjadi tiga kali lipat lebih mahal.
Lembaga pendidikan juga ditutup karena melonjaknya pengungsi Mogadishu. Huriya Abdullah (17) pelajar sekolah SMU mengatakan, “Saya meninggalkan bangku sekolah setelah keluarga memutuskan untuk mengungsi karena kesepakatan antara militer Ethiopia dan kepala kabilah gagal. ”
Setelah pemerintah transisi Somalia didukung militer Ethiopia berhasil mengusir pejuang Mahakim Islamiyah dari Mogadishu, peperangan semakin meluas di Somalia. Tambahan pasukan Uganda sebanyak 1.500 personil ternyata juga tak mampu membendung serangan pejuang Somalia setiap hari ke arah Mogadishu. Bahkan kini, pasukan Uganda menjadi target serangan, setelah militer Ethiopia dan Pemerintah transisi. (na-str/iol)