Sebuah film dokumenter berjudul "The Forsaken Promise" produksi Hatikvah Film Trust, sebuah organisasi Kristen yang berbasis di Inggris, mulai melakukan pemutaran perdana film tersebut di bekas kamp tahanan milik Inggris di Atlit. Sebuah tempat di kawasan laut Mediterania, sebelah selatan kota pantai Haifa yang masuk dalam wilayah Israel.
Inggris memanfaatkan Atlit untuk memenjarakan para imigran Yahudi ‘ilegal’ yang pindah dari kawasan Eropa era tahun 1930-an dan 1940an. Pada saat itu, banyak warga Yahudi yang berharap akan menemukan tempat berlindung yang aman di wilayah Palestina yang kemudian menjadi mandat pemerintah Inggris itu. Tetapi ternyata para pengungsi Yahudi itu mendapat perlawanan kuat, mereka yang ditangkap kemudian dibawa ke kamp-kamp tahanan Inggris, terutama ke Cyprus.
"The Forsaken Promise" sendiri mengisahkan tentang pemerintah Inggris yang pada tahun 1917 berjanji akan membantu warga Yahudi untuk membentuk tanah airnya sendiri. Tapi janji itu diingkari oleh Inggris selama bertahun-tahun sampai akhirnya terbentuk negara Israel pada 1948, setelah perang Arab-Israel dengan menduduki sebagian besar wilayah Palestina.
Menurut produser dan sutradara film tersebut Hugh Kitson, seorang warga Inggris beragama Kristen, tindakan pemerintah Inggris yang ingkar janji itu memberi kontribusi besar bagi tewasnya ratusan ribu warga Yahudi yang dikenal dengan tragedi Holocaust. Ia mengatakan, tujuan dari pembuatan film dokumenter ini, untuk mendorong adanya ‘penyesalan’ dari Inggris Raya terhadap fakta sejarah yang hanya diketahui oleh sedikit orang.
Film dokumenter yang terdiri dari tiga episode ini memadukan arsip-arsip film tentang kamp-kamp konsentrasi pada masa perang dunia II dan wawancara-wawancara dengan sejumlah saksi mata dan sejarawan Yahudi dan Kristen.
Dalam film itu dijelaskan, bagaimana Liga Dunia-cikal bakal PBB- setelah Perang Dunia I memberikan mandat pada Inggris Raya untuk berkuasa di wilayah yang kini dikenal dengan wilayah Palestina, Yordania, Israel, Tepi Barat dan Jalur Gaza. Sebelumnya, selama ratusan tahun, wilayah-wilayah itu merupakan wilayah kekuasaan dinasti Utsmani Turki.
Dalam surat tertanggal 2 November 1917, Menlu Inggris Arthur James Balfour menulis surat pada pemimpin komunitas Yahudi di Inggris, Lord Rothschild. Pada Rothschild, Balfour mengatakan keinginan pemerintah Inggris untuk membangun tanah air bagi warga Yahudi di Palestina dan akan menggunakan segala daya upayanya untuk memfasilitasi sampai tercapainya tujuan ini. Pendek kata, dalam surat itu Inggris berjanji akan membantu warga Yahudi untuk membentuk negaranya sendiri.
Surat yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Balfour ini menimbulkan kemarahan warga Arab Palestina dan negara-negara Arab sekitarnya. Mereka berupaya keras agar janji pemerintah Inggris itu tidak terwujud.
Era tahun 1920-an, 30-an dan 40-an merupakan periode kekisruhan di Arab dan pembunuhan atas warga Yahudi meluas di seluruh Palestina namun dibiarkan oleh otoritas pemerintahan Inggris. Salah seorang tokoh yang dianggap penghasut munculnya peristiwa yang dikenal sebagai kerusuhan Paskah pada era 1920-an adalah Amin Al-Husseini. Tokoh ini diduga dekat dengan Adolph Hitler dan masih kerabat dari mantan pemimpin PLO Yasir Arafat. Oleh otoritas pemerintah Inggris saat itu, Al-Husseini ditunjuk sebagai Mufti di Yerusalem.
Titik perubahan terjadi setelah Inggris di bawah pemerintahan Neville Chamberlain, mengeluarkan kebijakan yang dikenal sebagai White Paper pada 1939. Kebijakan ini mementahkan janji Inggris yang akan membagi wilayah Palestina untuk tanah air warga Yahudi dan membatasi jumlah warga Yahudi yang diizinkan untuk berimigrasi ke wilayah yang menjadi mandat pemerintahan Inggris itu.
Bukan untuk Serang Islam
Sejumlah cendikiawan Yahudi dan mantan pilot angkatan udara Inggris yang diwawancarai dalam film itu pada Cybernews mengungkapkan, pesan yang ingin disampaikan oleh film ini sangat kuat dan relevan dengan situasi yang terjadi saat ini terkait dengan konflik Palestina-Israel.
Sutradara Hugh Kitson bahkan mengatakan, "Saya yakin bangsa-bangsa lain dan khususnya Uni Eropa serta AS bisa belajar dari apa yang telah diperbuat Inggris."
Sementara itu, pengajar Injil, David Noakes yang ikut terlibat dalam pembuatan film ini berharap film dokumenter ini bisa diputar di televisi-televisi Inggris meski ia mengakui akan muncul penentangan.
"Film ini sama sekali tidak anti Islam. Kami berusaha untuk tidak menyinggung Islam. Yang kami usahakan adalah ingin menyinggung pemerintah Inggris, meski saya pikir televisi-televisi di Inggris mungkin akan sulit untuk menayangkan film ini," kata Noakes.
Di luar itu semua, fakta-fakta yang di film The Forsaken Promise ini kemungkinan akan membangkitkan kembali isu siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas penderitaan bangsa Yahudi di masa lalu. Kita tentu masih ingat kritik pedas Presiden Iran beberapa waktu lalu yang mengatakan, bahwa Eropalah yang harus bertanggung jawab memberikan sebagian wilayahnya pada bangsa Yahudi, bukan malah membebankannya pada bangsa Palestina. (ln/CNsNews)