Pekan lalu, Pengadilan Tinggi Kuala Lumpur memutuskan untuk umat non muslim menggunakan “Allah” dalam publikasi keagamaan untuk tujuan pendidikan, mencabut larangan yang telah ditetapkan dari tahun 1986.
Seorang hakim memutuskan larangan itu tidak konstitusional, karena konstitusi Malaysia menjamin kebebasan beragama.
Namun pemerintah mengajukan gugatan ke pengadilan banding dengan mengatakan “tidak puas” dengan putusan tersebut
“Saya meminta pemerintah federal untuk melanjutkan banding dalam proses ini. Bahkan, saya akan mengarahkan Dewan Agama Islam Johor untuk mengambil tindakan yang diperlukan. dan memberikan dukungan untuk upaya banding,” ujar Sulatan dalam sebuah pernyataan yang diposting di halaman Facebook-nya pada Kamis kemarin.
“Nama ‘Allah’ diberikan oleh-Nya, dan tidak berasal dari akar kata apa pun, tetapi istilah khusus yang mengacu pada Allah … Tuhan yang disembah oleh umat Islam,” tulisnya.
Sultan, yang merupakan pemimpin Islam di Johor, mengatakan bahwa kepekaan Muslim, serta kesepakatan kehidupan multiras dan multi-agama harus dipertimbangkan dalam setiap keputusan.
Penguasa itu mengatakan dia sedih dengan bagaimana istilah “Allah” digunakan untuk merujuk pada tuhan yang tidak disembah oleh Muslim, karena dia khawatir hal itu dapat memicu kontroversi dan menimbulkan kesan buruk pada kerukunan di antara orang-orang di Johor.
Sultan juga mengutip fatwa yang dikeluarkan oleh pemerintah negara bagian Johor pada tahun 2009, yang menyatakan bahwa penggunaan kata “Allah” oleh non-Muslim “tidak diizinkan, tidak diperbolehkan dan dilarang”.
“Di Johor, kami juga memiliki Pengendalian dan Pembatasan Perkembangan Agama Non-Muslim Pemberlakuan 1991 yang melarang penggunaan kata-kata yang disediakan khusus untuk Muslim dan tidak dapat digunakan oleh non-Muslim kecuali dalam keadaan di mana diizinkan oleh hukum,” katanya.
Pihak berwenang Malaysia telah lama berargumen bahwa mengizinkan non-Muslim menggunakan kata “Allah” dapat membingungkan, dan membujuk Muslim untuk pindah agama.
Kasus tersebut bermula 13 tahun lalu ketika petugas menyita materi keagamaan dalam bahasa Melayu lokal dari seorang wanita Kristen di bandara Kuala Lumpur yang berisi kata “Allah”.
Wanita bernama Jill Ireland Lawrence Bill kemudian mengajukan peninjauan kembali terhadap menteri dalam negeri dan pemerintah Malaysia.
Dia juga meminta pengakuan resmi atas hak konstitusionalnya untuk menjalankan agamanya dan non-diskriminasi berdasarkan artikel yang relevan dari konstitusi negara.
Pengadilan Tinggi memutuskan pada tahun 2014 bahwa kementerian dalam negeri salah karena menyita materi agama dan memerintahkannya untuk dikembalikan kepada Jill Ireland.
Pada 2015, Pengadilan Banding mengirim kedua masalah konstitusional tersebut kembali ke Pengadilan Tinggi untuk disidangkan.
Kasus tersebut disidangkan oleh Pengadilan Tinggi pada tahun 2017 tetapi pengumuman keputusan tersebut ditangguhkan beberapa kali hingga 10 Maret. []