Syeikh Ali Gomaa, Mufti besar Mesir dan hakim paling senior di negeri Piramida itu pada pekan kemarin mengeluarkan fatwa yang melarang memajang patung di rumah berdasarkan hadist Rasulullah Muhammad Saw. Namun sebagian orang di Mesir khawatir, fatwa itu akan dijadikan alasan untuk menghancurkan patung-patung peninggalan bersejarah di Mesir.
Para intelektual dan seniman berpendapat, fatwa tersebut menunjukkan kemunduran bagi dunia seni, yang merupakan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan dan akan menghancurkan industri seni pahat patung di Mesir.
Gomaa memang tidak menyebut patung-patung di Musium atau tempat-tempat umum, namun ia mengecam para pemahat patung dan hasil karya mereka. Sehingga ada kekhawatiran bahwa fatwa itu akan mendorong orang untuk menyerang ribuan patung-patung kuno dan patung Pharaoh yang menjadi daya tarik utama wisatawan di seluruh Mesir.
Editor majalah literatur Akhbar al-Adab, Gamal al-Ghitani mengatakan, "Kita tidak mengesampingkan bahwa seseorang masuk ke kuil Karnak di Luxor atau kuil-kuil pharaoh lainnya dan meledakannya atas dasar fatwa tersebut."
Gomaa mendasari fatwanya itu pada hadist Nabi Muhammad yang berbunyi,"Para pematung adalah yang berat siksanya di hari kemudian." Hadist ini menurut Gomaa, tanpa ada keraguan menyatakan bahwa membuat patung benda-benda hidup adalah dosa dan memajang patung sebagai hiasan rumah dilarang.
Argumen Gomaa dibantah oleh pendapat yang mengambil contoh pada kejadian sekitar 100 tahun yang lalu ketika tokoh paling dihormati dan Mufti besar Mesir pada saat itu, Muhammad Abdum, mengizinkan pemajangan patung-patung setelah sebelumnya tindakan itu dikecam sebagai pagan. Menurut Ghitani, pernyataan Abdu itu mengakhiri isu soal pemajangan patung, di mana disebutkan pemajangan patung atau gambar-gambar tidak dilarang dalam Islam. Yang dilarang, apabila patung dan gambar-gambar itu disembah dan dipuja.
Penulis novel Ezzat al-Qamhawi menilai fatwa yang dikeluarkan Gomaa akan ‘membawa kembali umat Islam ke jaman kegelapan.’
Kecaman serupa juga dilontarkan sutradara film Daud Abdul Sayed yang mengatakan, fatwa tersebut telah mengabaikan perkembangan umat Islam sejak kedatangan Islam. Menurutnya, wajar jika pada saat itu patung-patung dilarang, karena di awal kedatang Islam orang menjadikan patung-patung tersebut sebagai sembahan mereka. "Tapi apakah ada umat Islam yang menyembah patung setelah hampir 15 abad kemudian," katanya setengah bertanya.
Yussef Zidan, direktor museum manuskrip di Bibliotheca Alexandria mempertanyakan, mengapa orang mencuatkan isu ini di negara di mana terdapat lebih dari 10 institusi milik pemerintah yang mengajarkan seni pahat patung dan lebih dari 20 institusi lainnya yang mengajarkan sejarah seni.
Kritik yang dilontarkan para seniman terhadap ulama di Mesir menyatakan, fatwa semacam itu hanya akan makin mendorong pandangan, khususnya kalangan Barat bahwa Islam menentang kemajuan. Beberapa tokoh seniman, termasuk Abdul Sayed membandingkan fatwa yang dikeluarkan Gomaa dengan fatwa yang sama yang dikeluarkan pemerintahan Taliban yang akhirnya mengarah pada penghancuran patung-patung Budha meski ditentang banyak pihak antara lain pemuka Islam Yusuf Al-Qardhawi dan Mufti Mesir Nasr Farid Wasel. Meski demikian, Al-Qardhawi sepakat dengan Gomaa bhawa patung-patung yang dipajang sebagai penghias rumah dilarang dalam Islam.
Dalam situsnya Al-Qardhawi mengatakan, Islam melarang patung ketika patung-patung itu disimbolkan sebagai mahluk hidup seperti manusia dan hewan. Islam melarang segala hal yang mengarah pada paganisme atau hal-hal yang berbau pagan, termasuk patung-patung kuno orang-orang Mesir. Pengecualian hanya pada mainan anak-anak.
Ikhwanul Muslimin, kelompok oposisi di Mesir juga mengkritik fatwa itu. Juru bicaranya Issam al-Aryan menyatakan, masyarakat lebih prihatin pada persoalan korupsi. Apa yang ingin mereka saksikan adalah fatwa yang melarang orang yang sama memegang kemudi pemerintahan selama hampir 25 tahun bukan terhadap patung. (ln/aljz)