Fatah memberi lampu hiaju untuk bergabung dalam pemerintahan koalisi yang akan dibentuk Hamas. Ketua anggota parlemen Fatah Azzam Al-Ahmed menyatakan, prinsipnya Fatah bersedia bergabung dengan pemerintahan koalisi Hamas tapi Fatah akan melihat dulu apa program-programnya.
"Jika kami mencapai kesepakatan, maka kami akan bersedia ikut. Jika tidak, maka kami akan menjadi kelompo oposisi yang konstruktif," kata Azzam Al-Ahmed setelah pertemuan antara pemimpin-pemimpin senior Hamas dan tokoh-tokoh Fatah di Kota Gaza, Rabu (22/2).
Meski demikian, Al-Ahmed mengatakan bahwa pihaknya sepakat untuk melanjutkan pembicaraan dengan Hamas. Mahmud Al-Zahar yang memimpin delegasi Hamas dalam pertemuan juga mengatakan, "Semua pihak termasuk saudara-saudara kami di Fatah mau berpartisipasi dalam pemerintahan."
Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) juga sudah memberi sinyal siap bergabung dengan pemerintahan baru Palestina yang akan dipimpin Hamas.
Pembicaraan antara Fatah dan Hamas di Kota Gaza kemarin, dilakukan di tengah-tengah tekanan yang makin kuat dari pihak luar terhadap Hamas, khususnya dari AS dan Uni Eropa. Menlu AS Condoleezza Rice bahkan mengatakan bahwa Hamas harus memilih antara apa yang ia sebut sebagai ‘kamp teror’ dan politik.
"Komunitas international menginginkan pemerintah Palestina mau memenuhi persyaratan tertentu untuk menjalankan pemerintahan, yaitu mengedepankan perdamaian dan menghormati kesepakatan yang sudah ditandatangani sebelumnya oleh Palestina. Yang jelas, tidak akan ada perdamaian jika anda tidak mengakui partner anda dan itu adalah pengakuan terhadap hak-hak Israel untuk eksis dan kebutuhan untuk meninggalkan aksi-aksi teror," kata Rice dalam keterangan pers bersama dengan Menlu Mesir Ahmed Abul-Gheit.
Tekanan AS Tingkatkan Popularitas Hamas
Sementara itu juru bicara Hamas, Muhammad Nazzal pada AFP di Kairo mengatakan, tekanan Washington terhadap kelompoknya, hanya akan memperkuat popularitas Hamas. "AS masih saja belum belajar bahwa bahasa-bahasa ancaman tidak akan berpengaruh buat Hamas. Makin kuat tekanan AS terhadap Hamas, makin kuat dukungan rakyat Palestina buat Hamas," tegas Nazzal yang menilai pernyataan Rice sebagai tanda ‘kegugupan’ AS.
Di pihak lain, Menlu Mesir Ahmed Abul-Gheit mengecam tindakan Israel yang memutuskan untuk menghentikan pengiriman dana untuk Palestina, yang merupakan hak Palestina dari pendapatan pajak yang diambil Israel dari wilayah Palestina yang didudukinya.
"Kita seharunys memberikan waktu bagi Hamas. Saya yakin Hamas akan berkembang, akan berubah. Kita seharusnya tidak berburuk sangka pada Hamas," kata Abul-Gheit.
Ia menyatakan keyakinanannya bahwa rakyat Palestina akan mengakui persyaratan-persyaratan dari situasi yang dihadapi rakyat Palestina pada saat ini. Kesepakatan roadmap, kebutuhan untuk membangun perdamaian politik antara rakyat Israel dan Palestina, kebutuhan untuk melihat dua bangsa hidup saling berdampingan dalam menjaga dan mengakui perbatasan masing-masing. "Itu adalah isu-isu Palestina, yang oleh pemerintahan Hamas, jika terbentuk, harus dihadapi," tambah Abul-Gheit.
Ketua deputi politbiro Hamas, Moussa Abu Marzouk pada Islamonline mengatakan, pemerintahan Hamas secara realistis akan memperhatikan hasil-hasil perjanjian Oslo antara Palestina dan Israel. (ln/iol)