Perkembangan pendidikan di Eropa, khususnya di Perancis dan Jerman ternyata tertinggal jauh dengan perkembangan sektor pendidikan di Asia. Hal ini terungkap dari hasil studi yang dilakukan seorang peneliti di Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), Andreas Schleicher. Untuk itu ia mengingatkan Eropa untuk melakukan revolusi di sekolah-sekolah dan universitasnya serta membenahi sistem pengggolongan yang bias.
Dalam hasil studinya yang dirilis Senin (13/3), Schleicher menulis,"Saat ketika Eropa bersaing hampir dengan seluruh negara-negara yang menawarkan tenaga kerja dengan ketrampilan dan upah yang rendah, sudah lewat. Saat ini, negara-negara seperti China dan India mulai mempekerjakan tenaga kerja yang memiliki ketrampilan tinggi dengan upah yang tinggi pula. Situasinya sudah berbalik."
Menurut Schleicher, meningkatnya pendanaan pendidikan terutama untuk sekolah menengah dan pendidikan tinggi, membawa keuntungan ekonomi yang lebih baik bukan hanya untuk individu yang bersangkutan tapi juga negara secara keseluruhan.
Ia menunjuk ‘keajaiban’ yang terjadi Korea Selatan, negara yang pada era 1960an memiliki tingkat pendapatan yang lebih rendah dibandingkan dengan seluruh negara di Amerika Selatan, kini memiliki prosentase sumber daya manusia terdidik yang cukup tinggi, yaitu sekitar 97 persen di kalangan usia 25-34 tahun. Sementara negara-negara besar di Eropa seperti Inggris, Perancis dan Italia sedang berusaha keras untuk mempertahankan perekonomiannya, sedangkan Jerman malah sudah mengalami kejatuhan ekonominya.
"Perancis dan Jerman, yang meliputi 36 persen dari 11,6 triliun perekonomian Uni Eropa kini tidak lagi menjadi salah satu negara terkemuka di dunia dalam masalah ketrampilan dan pengetahuan," tutur Schleicher.
Dalam hal ini, ia juga mengkritik pemberlakuan kelas di masyarakat sebagai penghambat perkembangan pendidikan dan sumber daya terdidik di Eropa. "Masyarakat Eropa yang berasal dari keluarga dengan kesulitan sosial dan ekonomi, tidak mendapatkan kesempatan pendidikan yang sama dengan mereka yang berasal dari keluarga kelas menengah atas. Di banyak negara, data menunjukkan bahwa sekolah-sekolah di Eropa menerapkan perbedaan kelas berdasarkan status sosial dan ekonomi," katanya.
Lebih lanjut Schleiler mengungkapkan, mereka yang berasal dari keluarga kaya punya kesempatan empat kali lebih besar untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Di samping itu, para pendidik di negara-negara Eropa juga tidak mau mengubah cara mereka mendidik seperti yang dianjurkan oleh para peneliti.
"Pendidikan di Eropa berkembang sebagai industru, para pendidiknya seolah terisolasi dan membangun cara mereka sendiri yang sudah kuno," tulis Schleicher.
Untuk mengubah kondisi ini, ia memberikan lima rekomendasi pada Eropa. Negara-negara Eropa menurutnya, harus membangun jaringan institusi pendidikan yang bebas guna memenuhi permintaan dan akuntablitasnya terjamin. Akses ke sekolah-sekolah harus diperbaiki dan mendorong adanya pembiayaan dari sektor publik dan swasta. Universitas-universitas, harus melakukan perubahan strategi yang disesuaikan dengan perkembangan manajemen modern, artinya universitas-universitas harus dikelola oleh sebuah badan dan bukan hanya oleh kalangan akademisi semata. (ln/aljz)