Pada 2 Oktober 2020, Macron mengeluarkan undang-undang baru yang akan memperpanjang larangan lambang agama, yang terutama mempengaruhi wanita Muslim yang mengenakan jilbab atau kerudung, kepada karyawan sektor swasta yang menyediakan layanan publik. Negara bagian juga akan memiliki kekuasaan mengambil langkah di mana otoritas lokal membuat konsesi yang tidak dapat diterima bagi Muslim. Misalnya, kata dia, ‘menu religius’ di kantin sekolah atau akses terpisah ke kolam renang.
RUU tersebut mengusulkan pembatasan homeschooling untuk menghindari anak-anak ‘diindoktrinasi’ di sekolah tidak terdaftar yang diduga menyimpang dari kurikulum nasional. RUU tersebut diperkirakan akan dikirim ke parlemen awal bulan ini.
Pidato Macron tersebut dikecam secara luas oleh Muslim Prancis. RUU itu akan diajukan ke parlemen pada Desember mendatang. Mereka khawatir RUU tersebut dapat memicu penyalahgunaan hak-hak mereka.
Menurut rencana kontroversial tersebut, beberapa organisasi non pemerintah (LSM) atau organisasi yang ‘bertindak melawan hukum dan nilai-nilai negara’ mungkin ditutup atau menghadapi audit keuangan yang ketat. Hal ini telah menuai kritik di mana beberapa perwakilan komunitas Muslim menggambarkan langkah tersebut sebagai islamofobia dan diskriminatif.
Prancis memiliki minoritas Muslim terbesar di Eropa, yang diperkirakan mencapai lima juta atau lebih dari populasi 67 juta orang. Prancis menjadi tempat dimana agama dan simbol keagamaan yang digunakan di tempat umum menjadi bahan kontroversi.
Selama bertahun-tahun, kelompok hak asasi berpendapat undang-undang sekuler Prancis menumbuhkan kebencian anti-Muslim dan mendiskriminasi wanita Muslim. Prancis melarang anak sekolah mengenakan pakaian yang khas secara agama pada 2004, menyusul kontroversi mengenai siswi Muslim yang mengenakan jilbab.
Negara ini juga menjadi negara pertama di Eropa yang melarang cadar, seperti burqa dan niqab, di tempat umum pada 2010. Pada 2014, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa mendukung larangan tersebut, nemun mereka mengatakan undang-undang tersebut dapat terlihat berlebihan dan mendorong stereotip.
Prancis juga terlibat dalam perselisihan tentang larangan burkini, pakaian renang yang membalut seluruh tubuh yang dikenakan wanita Muslim di resor di sekitar Riviera. Erdogan juga menyoroti kebutuhan Muslim mengesampingkan perbedaan dan fokus pada masalah bersama untuk menyelesaikan masalah kritis yang telah menghancurkan negara-negara Muslim. Erdogan lantas mengkritik konsep Islam Eropa yang baru dibentuk karena berusaha menutup suara rakyat.
“Umat Muslim dapat mengesampingkan perbedaan pendapat mereka dan mencoba menghasilkan solusi dengan memanfaatkan konsep konsultasi,” kata Erdogan.