Pemakaman korban yang gugur dilakukan sepanjang hari Kamis ini , dan juga pada hari Jumat esok, hari utama bagi Muslim , diperkirakan kemarahan akan tumpah di jalan-jalan seantero Mesir.
“Saya pikir besok (Jum’at) akan menjadi hari besar bagi demonstrasi protes di seluruh Mesir, dengan potensi kekerasan yang sangat tinggi,” kata Yasser El-Shimy, analis International Crisis Group untuk Mesir.
Pembantaian ini adalah pembunuhan massal ketiga atas demonstran Islam sejak Mursi digulingkan enam minggu lalu, tetapi skala pertumpahan darah rabu kemarin mengisyaratkan bahwa militer bertekad untuk memperketat cengkeramannya pada negara.
Presiden Prancis Francois Hollande memanggil pulang duta besar Mesir untuk menuntut segera menghentikan Militer Mesir lakukan tindakan keras.
“Kepala negara menegaskan bahwa segala sesuatu harus dilakukan untuk menghindari perang saudara,” kata Istana Elysee dalam sebuah pernyataan pada hari Kamis. “Membebaskan tahanan, bisa menjadi langkah pertama menuju dimulainya kembali pembicaraan.”
Di Ankara, Perdana Menteri Turki Tayyip Erdogan menyerukan Dewan Keamanan PBB untuk bersidang dan bertindak cepat setelah apa yang ia gambarkan sebagai pembantaian di Mesir.
“Saya mengimbau wahai negara-negara Barat. Anda telah bertindak diam di Gaza, Anda juga tetap diam (krisis) di Suriah … dan Anda masih juga diam di Mesir… Jadi kenapa Anda berbicara tentang demokrasi, kebebasan, nilai-nilai global dan hak asasi manusia?” Erdogan nyatakan dengan kekesalan pada konferensi pers.
Tapi Uni Emirat Arab, salah satu dari beberapa negara Arab Teluk sangat resah oleh kemenangan Mursi dalam pemilihan 2012, menyatakan dukungan untuk penindasan oleh militer , UEA mengatakan pemerintah Mesir telah “melakukan pengendalian diri secara maksimal”.
Ikhwanul Muslimin mengatakan korban tewas yang sebenarnya jauh lebih tinggi, juru bicara Ikhwan mengatakan 3.000 orang telah tewas dalam “pembantaian”.
Keadaan darurat dan jam malam diberlakukan dan tentara melakukan penangkapan dan penahanan tak terbatas itu persis seperti zaman puluhan tahun di bawah Hosni Mubarak yang digulingkan dalam pemberontakan rakyat 2011. (Aljazeera/Dz)