Ekonomi Morat Marit, Separuh Pasutri Irak Bercerai

Dua dari empat suami atau isteri di Irak, menggugat cerai pasangannya. Ini angka yang jarang terjadi di tempat manapun, apalagi di Irak lima tahun lalu. Dan sekaligus, angka tersebut menjadi cermin keprihatinan yang dialami banyak keluarga di Irak.

Aya Muhammad, salah seorang hakim di salah satu pengadilan keluarga Irak, mengungkap informasi itu. Menurutnya, kondisi perekonomian yang kacau dan tekanan milisi bersenjata yang begitu menakutkan, menambah tinggi jumlah perceraian keluarga di Irak sejak 2003, saat dimulainya pendudukan AS di Irak.

Perkiraan yang disampaikan oleh Dewan Tinggi Pengadilan Irak menyebutkan, jumlah kasus perceraian yang terdaftar di pengadilan Irak meningkat dari 20.649 kasus di tahun 2003, menjadi 41.536 kasus di tahun 2007. Tapi para pengamat di Irak menyebutkan angka sebenarnya melebihi jumlah itu.

Seperti juga ungkapan seorang hakim bernama Muhammad, bahwa banyak kasus perceraian yang tidak dilakukan melalui proses hukum di pengadilan, tapi melalui proses yang dilakukan para ketua suku dan kabilah. Umumnya, perceraian terjadi karena kemiskinan yang sudah sangat parah, hingga menyebabkan perpecahan rumah tangga. Bahkan tidak sedikit perceraian yang dipicu para orang tua kepada anak perempuan mereka yang telah menikah, agar bisa dinikahkan lagi dengan laki-laki yang lebih kaya.

Salwa (bukan nama sebenarnya) usia 32 tahun, dia salah seorang perempuan Irak yang mengaku dipaksa oleh orang tuanya untuk bercerai dari suaminya, setelah terjadi cekcok antara suaminya dengan orang tuanya. “Saya cantik, tapi tidak mendapat kekayaan dari suami saya. Sekarang saya sudah nikah dengan suami yang 35 tahun lebih tua dari saya, tapi mempunyai harta cukup, dengan membayar mahar 30 ribu dolar, ” ujar Salwa.

Tapi hal itu ternyata tidak juga membuat Salwa nyaman, ia merasa tidak bisa mempertahankan rumah tangganya dengan suaminya yang baru dan beberapa kali berupaya lari dari rumahnya. Kini ia ditampung di sebuah LSM di Irak. “Saya minta bantuan polisi setempat, tapi mereka mengatakan, ini masalah keluarga yang tidak ada dalam wewenang mereka, ” ujar Salwa.

Menurut pengamat, masih banyak kasus serupa yang menimpa masyarakat Irak. Seperti seorang suami bernama Wajid Abdul Lathif (38), yang karena menganggur diusir ke pinggiran kota Baghdad. Ia mengatakan, “Aku ditinggalkan oleh isteriku setelah kami hidup terlunta-lunta. Tadinya kami hidup di sekitar lingkungan warga Syiah yang kemudian mengusir kami dari rumah, karena kami dari Sunni. Semua harta benda yang kami kumpulkan bertahun tahun kami tinggalkan, termasuk pakaian dan perabotan rumah.” (na-str/iol)