PM Israel Ehud Olmert nampaknya mulai menuai badai dari kebijakan perangnya ke Libanon. Ia kini menghadapi tekanan yang makin kuat dari publik Israel, agar segera membentuk tim investigasi yang memiliki kekuatan penuh, untuk menyelidiki kebijakan perang Olmert ke Libanon.
Jaksa agung Israel Menachem Mazuz memberi sejumlah opsi pada Olmert, salah satunya dengan membentuk komisi penyelidik independen yang memiliki kekuatan untuk memecat pejabat tinggi pemerintah dan militer.
Tewasnya 34 tentara Israel menjelang detik-detik gencatan senjata dengan Hizbullah, menimbulkan kemarahan publik Israel. Karena menurut laporan, persiapan tentara Israel saat itu sangat buruk, bahkan tidak ada persediaan makanan, minuman dan amunisi yang cukup bagi anggota pasukan.
Surat kabar Israel, Haaretz edisi Rabu (23/8) menyebutkan, opsi mana yang akan dipilih Olmert tergantung pada keputusan kabinet dan akan diumumkan akhir pekan ini.
Olmert nampaknya akan mengenyampingkan desakan untuk melakukan evaluasi atau penyelidikan yang independen dan lebih cenderung hanya meminta Jaksa Agung, Menachem Mazuz, untuk membuat daftar hal-hal apa saja yang harus dikaji ulang.
Sedangkan Mazuz mengatakan, opsi yang diajukannya pada Olmert, termasuk penyelidikan terhadap anggota parlemen dan pejabat pemerintah yang dianggap terlibat dalam agresi Israel ke Libanon.
Meski menghadapi tekanan dari dalam negerinya sendiri, Olmert tetap menyatakan berulang kali bahwa Israel tidak punya rencana untuk menghentikan blokade laut dan udaranya terhadap Libanon, sampai pasukan penjaga perdamaian di tempatkan di sepanjang perbatasan Suriah dan di bandara Beirut.
Para pejabat pemerintah Israel mengatakan, pernyataan Olmert itu bukan ultimatum tapi lebih kepada penegasan untuk menekan dunia internasional agar mengirimkan pasukan penjaga perdamaian yang kuat dan mau melucuti senjata Hizbullah.
Gencatan Senjata Masih Labil
Sementara itu, para diplomat internasional masih berupaya keras untuk menyusun detil final pembentukan pasukan penjaga perdamaian, termasuk tanggungjawab yang akan dibebankan pada pasukan tersebut.
PBB mengusulkan agar pasukan penjaga perdamaian dibolehkan untuk menembak untuk keperluan mempertahankan diri, melindungi warga sipil dan membantu militer nasional Libanon guna mencegah adanya pasukan asing atau persenjataan yang melintasi perbatasan.
Utusan senior PBB, Terje Roed-Larsen pada Selasa (22/8) menyatakan bahwa situasi di perbatasan masih labil. Insiden-insiden kecil bisa saja terjadi dan memicu kekerasan baru.
Disisi lain, banyak negara yang masih enggan mengirimkan pasukannya karena khawatir akan menjadi korban serangan baik Israel maupun pejuang Hizbullah.
Dari Suriah, Presiden Bashar Al-Assad dalam wawancaranya dengan Televisi Dubai hari Rabu (23/8) menyatakan keberatannya jika pasukan PBB di tempatkan di perbatasan Suriah. Hal itu, kata Assad, sama artinya dengan ‘posisi permusuhan dan pencabutan kedaulatan bangsa Libanon.’
Sementara Raja Yordania, Raja Abdullah II meminta pasukan Israel mundur dari wilayah Libanon dan mendesak dunia internasional untuk mendukung Libanon mendapatkan kembali kedaulatannya di wilayah selatan.
"Krisis yang terjadi sekarang ini di Libanon telah mengabaikan perlunya untuk mencapai resolusi yang adil, menyeluruh dan berlaku dalam jangka waktu panjang, atas konflik Libanon-Israel dan konflik Palestina-Israel," kata Raja Abdullah disela-sela kunjungannya ke Pakistan.
Abdullah mengungkapkan harapannya, dunia internasional membantu pemerintah Libanon dalam ‘mempertahankan kedaulatan dan kontrol mereka di seluruh perbatasan dengan memastikan penarikan mundur pasukan Israel dari Libanon serta mencari solusi yang komprehensif bagi gencaran senjata yang sifatnya permanen. (ln/aljz)