Efektifkah Kebijakan Serang Ghaza oleh PM Olmert?

PM Israel Ehud Olmert keluarkan pernyataan keras yang berisi ancaman untuk melakukan pembumihangusan Ghaza, demi menyelamatkan serdadunya yang ditawan pejuang Palestina. Pernyataan ini dikeluarkan setelah Israel melakukan serangan udara menghantam pusat pembangkit listrik dan sejumlah infrastruktur Ghaza berupa dua jembatan penghubung, sebagai langkah pertama pelumpuhan Ghaza.

Sementara Presiden Palestina Mahmud Abbas menegaskan, serangan Israel atas Ghaza yang menargetkan infrastruktur penting bagi rakyat Palestina adalah tindak kriminalitas terhadap kemanusiaan dan merupakan hukuman masal.

Perdana menteri Palestina, Ismail Haniyah dari partai Hamas mengatakan Israel harus "menghentikan eskalasi militer" guna menghindarkan krisis yang makin buruk.

Tragedi penculikan serdadu maupun warga Israel menjadi sandungan besar dalam karir politik Olmert yang baru menjabat sebagai Perdana Menteri Israel sejak April lalu. Akibat penculikan serdadunya, Olmert tampak sangat terpicu dan segera mengintruksikan pasukan militernya untuk menggempur Ghaza, sebuah wilayah yang ditinggalkan Israel sejak 10 bulan lalu. Bagi Olmert, harga seorang serdadu memang mahal. Dan untuk itu ia tidak ragu melakukan aksi ‘sangat ekstrim’ seperti dikutip BBC, untuk menyelamatkannya.

Serdadu yang ditawan bernama Kopral Gilad Shalit. Ia diculik dalam satu serangan pejuang Palestina terhadap pos penjagaan Israel di dekat Gaza, hari Minggu. Serangan ini diklaim oleh berbagai organisasi berbeda –termasuk sayap militer partai yang memerintah, Hamas.

Sebelum ini, jabatan Perdana Menteri Israel selalu diduduki oleh orang-orang yang berlatarbelakang militer. Maklum saja, sebagai kelompok agressor dan penjajah, para petinggi Israel memang harus mampu mengatasi berbagai krisis keamanan yang dihadapinya. Kontak senjata, bom syahid, ekspansi militer Israel, dan seluruh kasus keamanan yang mengancam kelompok penjajah Israel harus menjadi fokus perhatian para petinggi Israel.

Namun sejumlah pengamat dan petinggi Israel kini juga ketar ketir akibat kebijakan Olmert yang begitu keras mengatasi kasus penculikan seorang serdadu. Dahulu, tahun 1994 seorang serdadu Israel juga pernah diculik dan akhirnya tidak berhasil dibebaskan, karena serdadu itu keburu tewas di tangan pejuang Palestina. Di sisi lain, jika Olmert tidak mengambil tindakan tegas terkait penculikan, akan menimbulkan imej negatif tentang kepemimpinannya di publik Israel.

Sebelum ini, Olmert sesumbar mengatakan bahwa pasukannya akan dengan mudah menguasai Ghaza. Alasannya, sejumlah tank, pasukan darat, dan udara Israel sudah siap mengepung dan menyerang Ghaza untuk menyelamatkan serdadunya. Ia juga mengatakan tidak mempunyai niatan untuk menetap di Ghaza. Jadi, fokusnya hanya menyelamatkan seorang serdadu.

Di sini, Olmert melakukan dua pendekatan solusi yang bertolak belakang. Di satu sisi ia sangat ingin menampilkan sosoknya sebagai pemimpin yang tegas menghadapi bangsa Palestina yang dijajahnya. Sementara di sisi lain, ia ingin keselamatan serdadunya yang ditawan. Dengan tindakan militer yang keras seperti ini, yang bisa dikatakan mustahil membuat gentar pejuang Palestina, dikhawatirkan Olmert bakal semakin menerima kecaman dunia internasional. Tapi, apalah gunanya kecaman dunia bagi kelompok penjajah seperti Israel?

Dalam tulisan ini, Israel tidak dianggap sebagai negara maupun pemerintah, karena memang sejarah Israel tidak pernah layak disebut sebagai sebuah negara maupun institusi pemerintah, seperti yang pernah disampaikan oleh Dr. Akrom Adlouni saat berkunjung ke Indonesia. Publik internasional, hendaknya tidak menyandingkan Israel sebagai sebuah negara maupun institusi pemerintahan, karena memang mereka statusnya adalah kelompok penjajah dan perampas wilayah negara lain. (na-str)