Ulama Islam Dr. Yusuf Qaradhawi menyatakan dengan tegas tentang hukum dosa pemasungan kebebasan, manipulasi hasil pemilu dan pengadilan militer. Dalam acara rutin bertajuk "Syariah wa al-Hayah", di channel televisi satelit Al-Jazeera.
Qaradhawi mengatakan, “Ada sebagian ulama tidak menempatkan kata haram pada tempatnya. Misalnya, banyak di antara orang mengatakan haramnya perzinahan dan minum khamar. Tapi ada pula keharaman yang tidak disuarakan oleh para ulama. Seperti pemasungan kebebasan, melanggar kehormatan orang lain, melakukan manipulasi suara pemilu, menangkap orang lain tanpa alasan yang benar, mengadili warga sipil di pengadilan militer, membekukan asset seseorang, memberi perbedaan tanpa alasan yang benar. Semua ini haram, dan arus dinyatakan oleh para ulama sebagai mana mereka menyatakan keharaman konvensional seperti arak dan zina. ”
Qaradhawi menyampaikan kalimat pertamanya dengan mengutip kaidah “hukum segala sesuatu itu adalah boleh”. Menurutnya, kaidah ushul tersebut merupakan pangkal yang paling penting dalam menentukan halal atau haram dalam Islam. Iapun menjelaskan beberapa tahun silam di akhir tahun lima puluhan, ia menulis sebuah kitab “Al-Halaal wa Al-Haraam”, dengan melandaskan pemikirannya secara umum pada kaidah tersebut.
Qaradhawi juga menyampaikan bahwa pada dasarnya, tidak ada pertanyaan tentang yang mubah sehingga semua kondisi itu halal. Kecuali, yang telah diharamkan oleh Allah swt. “Allah menciptakan seluruh alam ini karena ingin memberi manfaat kepada manusia, ” ujar Qaradhawi.
Ketua Forum Ulama Islam Internasional itu lalu menyitir firman Allah swt surat Al-Baqarah ayat 29, yang artinya, “Dialah (Allah) Yang Menciptakan untuk kalian seluruh yang ada di bumi, kemudian peristiwa ke langit, lalu meratakan tujuh lapis langit, dan Dia Maha Mengetahui atas segala sesuatu. ”
Karenanya, menurut Qaradhawi, kaidah yang ia sebutkan itu tidak boleh diabaikan untuk kepentingan tertentu apapun. Termasuk bila terkait dengan tradisi dan budaya. ”Semua urusan pada dasarnya boleh dan tidak boleh mengharamkan sesuatu kecuali dengan nash yang sharih secara keberadaan larangannya (sharih tsubut) dan sharih secara rujukan dalil (sharihu dalalah). Karena itulah wilayah yang haram itu menjadi sempit sekali, dan wilayah yang mubah menjadi sangat luas, ” ujar Qaradhawi.
Untuk menjelaskan hal ini, Qaradhawi menerangkan bagaimana para ulama terdahulu di zaman para imam yang empat, “Mereka dahulu lebih cenderung menyempitkan wilayah yang haram, dan sangat berhati-hati menyampaikan pernyataan tentang haramnya sesuatu yang berarti larangan Allah swt yang berisiko siksaan neraka jahanam bagi pelaku yang melanggarnya. Ini masalah penting. Karena itulah mereka tidak mudah dan tidak berani mengatakan sesuatu itu haram kecuali bila memang status keharamannya sudah benar-benar jelas. Para fuqaha lebih menyukai kalimat-kalimat “akrahu au la uhibbuhu” (saya tidak menyukainya), “Laa araahu” (saya tidak memandang seperti itu) dan semacamnya. Para ulama terdahulu lebih banyak membuka kemudahan dan keringanan bagi manusia. ”
Namun begitu menurut Qaradhawi, di sisi lain ada sejumlah ulama Islam yang tidak berani mengharamkan suatu masalah yang sudah jelas sekali bahayanya dan keharamannya. Qaradhawi meminta mereka mengeluarkan pernyataan haram sesuai haknya. Di situlah, Qaradhawi menegaskan bahwa memasung kebebasan, melanggar hak dan kehormatan orang lain, menangkap mereka secara tidak benar, mengadili warga sipil di mahkamah militer, manipulasi suara dalam pemilu, semuanya adalah haram yang harus secara tegas disampaikan para ulama. Sama saja sebagaimana mereka menegaskan haramnya sesuatu masalah yang sudah lama dikenal masyarakat seperti zina dan minuman keras. (na-str/qrdwn)