Anggota Komite Eksekutif Palestinian Liberation Organization (PLO) yang juga anggota parlemen Dr. Hanan Ashrawi skeptis menanggapi berita di LA Times yang menyebutkan bahwa Tim Kuartet–tim negosiasi perdamaian Israel-Palestina yang terdiri dari Uni Eropa, PBB, Rusia dan AS–sedang mempertimbangkan untuk mengakui negara Palestina.
Menurut laporan surat kabar AS itu, Tim Kuartet akan mengakui negara Palestina dengan cakupan wilayah berdasarkan kesepakatan perbatasan tahun 1967, dengan Yerusalem sebagai ibukotanya.
Namun pejabat PLO Ashrawi tidak terlalu antusias dengan informasi tersebut. Ia mengatakan, bahwa itu adalah cara Tim Kuartet untuk mendorong Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menyusun sendiri rencana perdamaian dengan Palestina.
Ashrawi menyatakan, yang harus dilakukan Tim Kuartet adalah menghormati hukum internasional terkait kepentingan Palestina.
"Tim Kuartet tidak merilis pernyataan apapun tentang pengakuan terhadap negara Palestina. Yang kita inginkan dari Tim Kuartet adalah mereka menghormati hukum internasional, dan masing-masing anggota Tim Kuartet mengakui negara Palestina berdasarkan perbatasan tahun 1967 dengan Yerusalem sebagai ibukotanya, dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa …"
"Para pemimpin Palestina sudah memperjuangkan agar PBB memberikan pengakuan terhadap negara Palestina pada bulan September," papar Ashrawi.
Ia juga menegaskan bahwa sikap PLO menolak negosiasi, tidak berubah. "Posisi Komite Eksekutif PLO tetap jelas. Tidak akan ada negosiasi tanpa penghentian semua aktivitas pembangunan pemukiman Yahudi, tanpa ada kejelasan syarat yang mengacu pada hukum internasional dan tanpa adanya batas waktu yang jelas," tukas Ashrawi.
Lebih lanjut ia mengatakan, wacana Tim Kuartet mengakui negara Palestina bukan sebagai pengganti pengakuan PBB terhadap negara Palestina bulan September mendatang dan tidak menjamin bahwa Israel akan secara penuh menghentikan pembangunan pemukimannya di wilayah Palestina.
"Pengakuan PBB atas negara Palestina sudah sesuai dengan hukum internasional. Israel, selama 20 tahun telah mengekploitasi negosiasi untuk kepentingannya sendiri, khususnya untuk memperluas pemukiman ilegalnya di Tepi Barat dan menganeksasi Yerusalem Timur," kata Ashrawi.
Ia juga menyatakan tidak percaya dengan pernyataan Netanyahu bahwa Israel berencana mundur dari sejumlah wilayah di Tepi Barat dan mengembalikan wilayah yang dirampasnya pada otoritas Palestina.
Ashrawi membeberkan dokumen yang disebut "Inisiatif Netanyahu" yang isinya justru menunjukkan bahwa Israel akan melanjutkan penjajahan dan aneksasinya ke wilayah Palestina.
Dalam "Inisiatif" itu kata Ashrawi, antara lain disebutkan bahwa Israel setuju untuk mengerahkan kembali pasukannya, menganeksasi Yerusalem, melakukan kontrol penuh di wilayah Jordan Valley, menguasai wilayah perairan dan udara Palestina, dan memaksa Palestina untuk mengakui Israel sebagai negara Yahudi.
"Fakta ini menunjukkan bahwa Israel telah melakukan manipulasi opini publik, dan tidak menunjukkan niat baik untuk memenuhi persyaratan damai dengan Palestina," tukas Ashrawi. (ln/palnews)