Ibarat padi, semakin berisi semakin merunduk. Seperti itulah sikap seorang ulama. Kepandaian dan bobot ilmunya, semakin membawa sikap yang penuh tunduk dan tawadhu.
Dan itulah salah satu rangkaian peristiwa mengharukan yang terjadi dalam Konferensi Imam Al-Qaradhawi bersama Para Murid dan Sahabat, sejak hari Sabtu (14/7) di Dhoha, Qatar. DR. Yusuf Al-Qaradhawi, menolak dirinya disebut sebagai imam.
Beliau mengatakan, bahwa dirinya adalah penuntut ilmu dan tetap sebagai murid sampai akhir hayatnya. Ia juga memintakan maaf kepada siapa saja pihak yang merasa sakit karena perkataan maupun perbuatannya. “Manusia, bisa saja salah dan benar, ” katanya. Ia juga menegaskan kembali cita-cita utamanya untuk mati syahid di jalan Allah swt.
Dalam konferensi itu, hadir lebih dari 100 orang tokoh yang menjadi murid, kawan dan para sahabat Al-Qaradhawi. Termasuk para menteri dan tokoh dari lebih 30 negara dunia. Konferensi tersebut menisbatkan kata “imam” kepada Al-Qaradhawi karena memang beliau dianggap sebagai tokoh ulama besar di zaman ini, sekaligus sebagai penghargaan atas berbagai ijtihad fiqihnya serta pengabdiannya kepada Islam dan kaum Muslimin.
Namun demikian, Qaradhawi mengatakan dirinya tidak ingin pujian dan penghargaan yang diberikan pada dirinya, dari para murid dan sahabatnya itu, menjadikan dirinya terhalang dari pahala amalnya yang dilakukan untuk mencari ridha Allah swt. Beliau sendiri mengatakan, dirinya takut mengadakan pertemuan ini karena pujian dan sanjungan memang bisa menghapus pahala amal di hari akhirat.
Beliau lalu mengutip sabda Rasulullah saw, “Tak seorang pejuang yang berjuang di jalan Allah, lalu ia memperoleh ghanimah, kecuali akan dipercepat dua pertiga pahalanya di akhirat, sisanya satu pertiga. Tapi bila dia tidak mendapatkan ghanimah, pahalanya sempurna. ” (HR Bukhari).
Dengan suara terbata-bata karena tangisannya, Qaradhawi kemudian mengatakan, “Saya takut bila pujian-pujian itu menghilangkan dua pertiga pahala dan hanya tersisa sepertiganya…. ”
Menurutnya, ia adalah orang yang sangat mengenal dirinya sendiri, termasuk kelemahannya, kekurangannya, ketidakmampuannya. “Pengetahuan saya tentang kekurangan diri saya, lebih banyak ketimbang orang lain yang menilai saya, ” katanya.
“Allah swt menutupi saya dengan tutupan kebaikan. Karena karunia Allah itulah Allah melindungi hamba-hamba-Nya dan tidak menjadikan kemaksiatan mereka tercium oleh manusia lainnya…”
Menurut Qradhawi, penamaan kata “Imam” kepada dirinya tidaklah tepat. Beliau mengatakan, “Saya demi Allah bukanlah pemimpin dan bukan seorang imam. Saya hanya prajurit dari prajurit Islam, seorang murid dan akan tetap sebagai murid penuntut ilmu sampai detik terakhir usia saya. ”
Beliau lalu meminta kepada siapa saja untuk bisa memberinya ilmu atau informasi yang bermanfaat, sebagaimana perkataan Hud pada Sulaiman as, “ Aku datang kepadamu dari negeri Saba dengan berita yang yakin. ” (An Naml: 22) (na-str/iol)