Ketika ditanya apakah Muhlise punya pesan untuk ayahnya, yang belum pernah berbicara dengannya sejak 2017, Muhlise mulai menangis.
“Saya merindukannya,” ungkapnya, dikutip dari CNN, Jumat (26/3).
Ketika Mamutjan menonton video itu dari rumahnya di Adelaide, dia berusaha menahan tangis.
“Saya tidak percaya betapa tingginya (putriku) sekarang. Negara jenis apa yang melakukan ini ke orang-orang tak berdosa?”
Dalam sebuah laporan baru yang dirilis Kamis, Amnesty International memperkirakan ada ribuan keluarga Uighur di seluruh dunia yang mengalami seperti apa yang dialami Mamutjan, orang tua dan anak yang terpisah selama bertahun-tahun akibat tindakan keras pemerintah China di Xinjiang.
Di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, minoritas Muslim di Xinjiang diduga menjadi target program penangkapan massal, indoktrinasi, dan bahkan sterilisasi perempuan.
Menurut laporan Amnesty International, beberapa orang tua yang melarikan diri dari wilayah itu pada awal-awal dimulainya tindakan keras pemerintah tidak bisa berkumpul kembali dengan anak-anak mereka. Yang lainnya, seperti Mamutjan, secara tidak sengaja mendapati diri mereka berada di sisi berlawanan, dan sekarang takut kembali ke Xinjiang.
Alkan Akad, seorang peneliti China di Amnesty International, mengatakan pemisahan orang tua dan anak tidak semuanya kebetulan. Dalam beberapa kasus, ini bisa menjadi taktik yang disengaja oleh pihak berwenang.
“Pemerintah China ingin mendapatkan pengaruh atas populasi Uighur yang tinggal di luar negeri, sehingga mereka dapat menghentikan mereka terlibat dalam aktivisme dan berbicara untuk keluarga dan kerabat mereka di Xinjiang,” jelas Akad, yang menulis laporan baru tersebut.
Dalam konferensi pers pada 15 Maret, juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian mengatakan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang “tidak berdasar dan sensasional.”
Pemerintah China belum menanggapi pertanyaan terperinci CNN terkait keluarga yang disebutkan dalam artikel itu, atau tentang skala pemisahan keluarga antara Uighur di Xinjiang dan luar negeri.
‘Kami tak pantas menerima penderitaan ini’
Terakhir kali Mamutjan dan keluarganya berkumpul yaitu pada 2015 di Malaysia. Saat itu, Mamutjan meneruskan studi doktoralnya bidang Kajian Dunia Muslim, dengan beasiswa benuh, sementara istrinya, Muherrem belajar bahasa Inggris. Saat itu putrinya Muhlise sekolah TK. Putranya saat itu baru enam bulan.
“Kami cukup bahagia. Kami tidak punya masalah besar dalam hidup,” kisahnya.