Center for Human Rights and Global Justice (CHRGJ) dalam laporan terbarunya menyatakan, tindak diskriminasi terhadap para imigran yang mengajukan permohonan kewarganegaraan, makin melembaga di AS.
Diskriminasi itu, menurut laporan CHRGJ yang dirilis Rabu (25/4), terutama menimpa imigran Muslim. Otoritas yang berwenang memberikan status kewarganegaraan di AS, secara ilegal sengaja mengulur-ulur waktu dalam memberikan jawaban bagi permohonan kewarganegaraan mereka.
"Kelambatan itu bukan hanya menunjukkan tidak memuaskannya kerja birokrasi, tapi merupakan dampak dari tindakan diskriminatif, ketidakefektifan dan kebijakan yang tidak demokratis, dan merupakan pelanggaran yang mendasar terhadap hak asasi manusia, " ujar Profesor Smita Narula, direktur fakultas CHRGJ di Sekolah Hukum Universitas New York.
Narula mengatakan, pasca peristiwa 11 September 2001, istilah "teroris" muncul sebagai konstruksi rasial bagi mereka yang Muslim, Arab, berasal dari Timur Tengah atau dari Asia Selatan.
Dalam laporan yang berjudul "American on Hold: Profiling, Citizenship and the ‘War on Teror’", CHRGJ menulis, "Akibat dari semua itu, dilakukan pemeriksaan yang sangat teliti bagi permohonan kewarganegaraan, berdasarkan nama pemohon, asal negara, agama dan gender atau kombinasi dari hal-hal tersebut. "
Hukum di AS menetapkan waktu 120 hari untuk menentukan apakah permohonan kewarganegaraan diterima atau ditolak. Tapi kenyataannya, sekitar 41 ribu pemohon, kebanyakan Muslim dan bangsa Arab, masih menunggu meski sudah memasukkan permohonannya sejak tiga tahun lalu.
Ketika para pemohon menanyakannya ke kantor imigrasi, mereka tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari pegawai yang berwenang. Seorang pemohon, pada CHRGJ mengatakan, "Mereka (pihak imigrasi AS) hanya punya dua kata buat kami "pemeriksaan keamanan", cuma itu. "
Jayne Huckerby, direktur riset CHRGJ mengatakan, diskriminasi terhadap profil-profil orang tertentu, berdasarkan hukum internasional merupakan tindakan melanggar hukum. Ia juga menilai apa yang dilakukan pihak imigrasi AS mirip kerja intelejen yang buruk.
"Bertahun-tahun melakukan identifikasi terhadap orang-orang yang dianggap sebagai ancaman keamanan, tidak membuat kita menjadi lebih aman, " kata Huckerby.
Dalam laporan CHRGJ setebal 63 halaman juga disebutkan, akibat ketidakjelasan nasib aplikasi para pemohon kewarganegaraan, banyak para imigran yang mengalami kesulitan hidup di AS. Mereka sulit mendapatkan pekerjaan atau mendapatan kehidupan yang lebih baik.
Diskriminasi juga membuat sebagian imigran Muslim tidak bisa sholat atau melakukan ibadah dengan leluasa, beberapa di antaranya bahkan terpaksa mengubah namanya. Selain itu, banyak keluarga yang harus hidup terpisah-pisah, karena lambatnya proses aplikasi permohonan kewargangeraan mereka.
"Atas nama ‘perang melawan teror’ pemerintah AS sudah mencerai-beraikan banyak keluarga, menimbulkan rasa takut dan ketidaknyamanan, serta membatasi gerak seluruh warga masyarakat, " tandas Narula.
Seorang pemohon kewargangeraan AS mengungkapkan bahwa ia terpaksa berpisah sementara dengan anak-anaknya, karena masih menunggu aplikasinya diproses. "Saya menelpon keluarga saya setiap hari dan setiap saya menelpon mereka, anak perempuan saya yang paling kecil bertanya, ‘Papa, kapan mau datang? Kapan aku bisa ke sana untuk bertemu denganmu?" katanya.
"Setiap saat, saya membawa foto-foto keluarga saya di dompet dan saya sangat ingin bertemu mereka, " sambungnya.
Para pemohon yang masih menunggu aplikasi kewargangeraannya diproses, juga tidak bisa mengajukan permohonan visa khusus bagi anggota keluarganya dalam kondisi mendesak. Mereka juga tidak bisa berpergian ke luar negeri, bahkan hanya untuk menjenguk keluarganya yang sakit. (ln/iol)