Dilema Dokter di Irak, Bawa Senjata untuk Melindungi Diri

Sejak Perdana Menteri Irak Nouri al-Maliki mengumumkan bahwa para dokter diizinkan memiliki senjata untuk keperluan membela diri, banyak dokter di Irak yang membeli pistol untuk perlindungan dari serangan kelompok penjahat atau kelompok militan.

Sejak invasi AS ke Negeri 1001 Malam tahun 2003, banyak tenaga kesehatan termasuk dokter menjadi target penculikan, beberapa diantaranya bahkan dibunuh. Data Kementerian Kesehatan Irak menyebutkan, sejak invasi AS, sedikitnya ada 620 tenaga kesehatan profesional, diantaranya 200 dokter yang menjadi korban penculikan. Sementara Asosiasi Dokter Irak menyatakan, sekitar 50 persen tenaga-tenaga ahli di bidang medis yang menjadi korban penculikan, dibunuh oleh para penculiknya.

Dalam beberapa kasus, para dokter itu diculik untuk meminta uang tebusan atau untuk merawat anggota kelompok penjahat atau militan yang sakit atau terluka. Beberapa dokter yang diculik kemduian dibunuh, karena penculiknya tidak mau identitas kelompoknya terungkap. Namun ada juga dokter yang dibunuh karena menolak memberikan pertolongan pada pasien dengan todongan senjata.

"Kami adalah dokter dan bertanggung jawab untuk menyelamatkan nyawa manusia, tapi kami tidak bisa dipaksa untuk melakukannya dengan cara yang ilegal," kata Dokter Fareed Salman, seorang urolog yang tinggal di kota Baghdad.

Sebagai seorang dokter, Salman mengaku tidak pernah terlintas dalam pikirannya bahwa suatu saat ia membutuhkan senjata untuk melindungi dirinya. Namun situasi dan kondisi keamanan di Irak yang masih labil, membuatnya memutuskan untuk membawa senjata.

"Kami melihat situasi kritis dimana kesehatan dan kekerasan campur aduk," sambung Salman.

Meski demikian, tidak semua pihak di Irak setuju dengan kebijakan PM al-Maliki yang membolehkan dokter membekali dirinya dengan senjata. Analis bidang keamanan dan profesor di Universitas Mustansiriyah, Baghdad, Ahmad Rubai’e mengatakan, kebijakan itu salah dan tidak adil.

"Dengan cara itu, pemerintah sedang membuka pintu-pintu bagi lebih banyak lagi aksi-aksi kekerasan dan bukan sebagai jalan untuk melindungi rakyatnya," kata Rubai’e.

"Hampir semua petugas kesehatan belum pernah menggunakan senjata dan jika pun mereka sekarang bisa menggunakannya, mereka tidak akan mampu untuk melindungi dirinya dengan layak," sambungnya.

Rubai’e dan para pengamat di Irak mengatakan, dengan mengizinkan masyarakat membawa senjata berarti pemerintah telah gagal melindungi rakyatnya. "Ini adalah tanggung jawab pemerintah. Kebijakan semacam itu menunjukkan bahwa pemerintah lepas tangan dari persoalan keamanan yang mengancam rakyatnya," tambah Rubai’e.

Belakangan ini, pemerintah Irak memang sedang berupaya agar tenaga-tenaga dokternya yang mengungsi ke luar Irak kembali mengabdikan dirinya di tanah air. Sejak invasi AS di Irak, dipekirakan 80 persen tenaga kesehatan di Irak memilih meninggalkan negaranya. (ln/iol)