Eramuslim.com – Lal Hussain setiap malam di bulan Ramadan mengitari jalan di kota Rawalpindi, Pakistan, sambil membawa gendang dan berteriak “ayo bangun, makan sahur!”.
Selama 35 tahun, suara Hussain dan tabuhan bedug menggema di lingkungan tempat tinggalnya, membangunkan orang-orang untuk sahur. Begitu mendengar suaranya, perempuan, anak-anak, melongok dari jendela.
Di jalan, orang-orang yang berbaik hati memberinya selembar uang, seperti dikutip dari laman TV5 Monde. Menjelang hari raya Idul Fitri, Hussain biasanya menantikan “THR”.
“Saya tidak pernah minta apa-apa. Kalau tidak yang kasih, ya, tidak apa-apa,” kata laki-laki berusia 66 tahun ini.
Kebiasaan yang sudah dia jalani sejak 1983 perlahan bergeser, masyarakat di sana, mungkin berlaku juga di Indonesia, kini tidak lagi bergantung pada bedug sahur dari orang seperti Hussain.
Alarm digital seperti yang ada di ponsel, menggantikan suara Hussain dan bedugnya.
“Kebutuhan adalah dasar inovasi. Sekarang, bedug sahur tidak lagi diperlukan, jadi, mulai menghilang,” kata Uxi Mufti, seorang filsuf dari lembaga kebudayaan nasional Pakistan.
Setiap tahun, pemukul bedug sahur semakin jarang di Paksitan, menurut Hussain, sekarang jumlahnya tidak sampai 12 orang di Rawalpindi.
“Padahal, dulu di setiap jalan ada pemukul bedug, tapi, banyak yang pergi. Anak-anak muda lebih memilih pekerjaan lain,” kata dia.
Hussain tidak menyerah, mengingat di usia senjanya dia mengidap hepatitis C, dia bertahan dengan tugasnya semampunya, ada kalanya mengandalkan bantuan warga setempat.
“Menghargai budaya warisan nenek moyang kita, jadi, kami menghargainya juga,” kata Yasir Butt, salah seorang warga.
Tapi, Hussain dan bedugnya masih memiliki harapan. Warga Pakistan masih sering mengalami pemadaman listrik sehingga mereka tidak bisa sepenuhnya bergantung pada teknologi digital.
“Masih ada orang-orang yang minta saya memukul bedug karena mereka tidak yakin ponselnya menyala,” kata Hussain sambil tersenyum.(kl/konfrontasi)