Di Jerman, Banyak Mahasiswa Non-Muslim Menikmati Gerakan Sholat

Empat hal tentang sholat Untuk sementara, keingintahuan Lukas hanya sebatas arti gerakan sholat bagi kebugaran fisiknya. Dia hanya bisa menilai, jika dilakukan lima kali sehari, tentu sholat akan menyehatkan tubuh.

“Saya mengajak dia berdiskusi kecil tentang substansi sholat. Saya kemukakan beberapa saja yang mudah dipahaminya agar tidak terlalu membebani kognisinya, karena dia baru belajar bahasa Indonesia. Saya hanya menyampaikan beberapa hal,” tulis Nasrullah.

Nasrullah pun menjelaskan beberapa hal terkait sholat kepada Lukas. Pertama, kenapa sholat harus lima waktu. Kita hidup di bawah irama waktu yang tak menentu. Kadang ritme kita cepat, kadang lambat. Kadang kita lupa waktu jika bekerja, atau emosi sedang memuncak. Maka waktu sholat akan mengingatkan kita agar kembali menghadap Allah SWT, menyerahkan segala sesuatunya kepada Yang Mahamemiliki Waktu.

 

Lihatlah, betapa Allah mengatur lima waktu sholat itu dengan sangat indah. Subuh ketika kita bangun, zuhur ketika kita sedang puncak-puncaknya bekerja, asyar saat tenaga kita mulai melemah. Lalu maghrib di waktu kita berkumpul dengan keluarga, dan isya sebelum kita meninggalkan semua aktivitas di hari itu. Luar biasa indahnya!

Kedua, sholat tak hanya soal gerakan fisik. Mata batin kita juga bergerak mendekatkan diri kepada-Nya. Kita meninggalkan segala sesuatu yang bersifat duniawiyah. Ritual berwudhu adalah membersihkan diri agar batin kita lebih siap menghadap.

Jadi bukan hanya untuk kebersihan tubuh semata-mata. Gerakan takbiratul ihram, rukuk, sujud tak semata-mata berolahraga, tetapi membuat irama hati sebab sesungguhnya kita amatlah kecil di hadapan Yang Maha Akbar.

Ketiga, tidak ada status sosial yang melekat dalam sholat. Islam mengajarkan agar sebelum sholat berjamaah shaf-shaf diluruskan, dirapatkan. Ini bermakna, sesungguhnya Islam itu rapi dan terorganisasi mengikuti pemimpin (imam)-nya. Islam bukan sebuah crowded group atau kelompok kerumunan yang terpecah-pecah dan bicara sendiri-sendiri. Meski demikian, tak ada status sosial yang lebih tinggi atau lebih rendah.

Yang ada adalah kesejajaran, equalitas, sebab siapapun yang melakukan sholat tak dipandang pejabat atau keturunan ningrat, semua berbaris dengan gerakan rukuk dan sujud yang sama. Tak ada previlage untuk siapapun, misalnya dengan dispensasi yang pejabat tidak usah rukuk atau sujud.

Keempat, ini yang terpenting, Allah mengajarkan sesungguhnya di dalam sholat itu mengandung dimensi teologis sekaligus sosial. Sholat dimulai dengan mengangungkan nama Allah, “Allahu Akbar”.

Lalu diakhiri dengan salam, mendoakan umat Islam yang ada di sekitar kanan-kiri kita: “Assalamu’alaikum warahmatullah….”. Rupanya Allah tidak memonopoli agar sholat itu untuk-Nya semata-mata, tetapi juga untuk umat manusia agar selamat sejahtera di muka bumi dan di akhirat nanti. Maka tak heran, ajaran sholat juga diberi frame yang keras oleh Allah melalui surat Al-Ma’un. (rol)