Pernyataan Keuskupan York-institusi tertinggi kedua dalam Church of England-tentang jilbab lagi-lagi menyinggung perasaan warga Muslim, khususnya Muslimah di negeri itu. Betapa tidak, Uskup York, John Sentamu mengatakan jilbab tidak sesuai dengan "norma-norma kesopanan."
Pernyataan itu terlontar dalam wawancaranya dengan surat kabar British Daily Mail. Dalam wawancara itu, Sentamu ditanya apakah Muslimah Inggris yang mengenakan jilbab layak berharap bisa diterima oleh publik Inggris?
Sentamu menjawab, "Para ulama Muslim seharusnya mengatakan tiga hal. Pertama, apakah ini sesuai dengan norma-norma kesopanan? Kedua, apakah ini akan membuat anda lebih aman? Dan ketiga, Islam yang bagaimana yang anda tunjukkan dengan mengenakan jilbab?"
Sentamu kemudian menambahkan, "Pada pertanyaan pertama, saya tidak berpikir bahwa jilbab benar-benar sesuai (dengan norma kesopanan)."
Sentamu lebih lanjut mengatakan, ia melepas kalung salibnya saat berkunjung ke masjid atau sinagog dan menutup kepalanya ketika berada di kuil penganut Sikh. "Karena saya akan masuk ke rumah orang lain," dalihnya.
"Dan saya tidak bisa dengan mudah mengatakan, ‘terimalah saya apa adanya, anda suka atau tidak.’ Saya pikir di masyarakat Inggris anda bisa mengenakan apa saja yang anda inginkan, tapi anda tidak bisa berharap masyarakat Inggris mengubah pandangan di sekitar anda. Tidak ada satupun kelompok minoritas yang bisa berharap hal itu akan terjadi di kehidupan publik atau sipil," sambung Sentamu.
Komentar Sentamu tentang jilbab, bertolak belakang dengan pandangan Kepala Church of England, Uskup Rowan William yang secara terbuka membela hak mengenakan jilbab.
Komentar Sentamu memicu reaksi keras dari para Muslimah di Arab Saudi dan Inggris, baik Muslimah yang mengenakan jilbab dan cadar maupun yang tidak. "Apa-apaan ini, menilai dari apa yang kita kenakan dan tidak kita kenakan," kritik Wafa Ahmad, seorang guru di Jeddah yang ketika berada di luar Arab Saudi mengaku tidak mengenakan jilbab atau cadar.
"Mengapa seluruh dunia tidak bisa melepaskan masalah jilbab dari kepala mereka dan menghentikan obsesi soal apa yang dikenakan di kepala…Mengapa Barat merasa begitu terancam dengan kaum perempuan yang menutup atau tidak menutup wajah dan kepalanya? Saya betul-betul tidak mengerti," ujar Wafa.
Seorang Profesor studi kewanitaan di Universitas King Saud di Riyadh mengatakan,"Norma kesopanan macam apa yang dibicarakan uskup ini? Kesopanan atau berkerudung juga diajarkan dalam Kristen dan Yudaisme. Mengapa semuanya hanya fokus pada Muslim?"
"Saya katakan pada masyarakat Barat, tidakkah mereka yang berceramah pada kita tentang kebebasan individu? tentang wawasan dan menerima perbedaan?" tandas profesor itu.
Seorang pengusaha asal Arab Saudi mengatakan, ketika di Roma berlakulah seperti yang dilakukan orang-orang Roma, dalam arti bukan berarti harus melepas jilbab ketika berada di tengah orang Roma.
"Salah seorang anak perempuan saya mengenakan jilbab, tapi saya yakin tujuannya mengenakan jilbab bukan untuk mencari perhatian. Maka ia mengenakan pakaian yang
dipadukan untuk berbaur, kadang mengenakan bandana atau topi…Orang -orang tahu ia seorang Muslim karena kepalanya selalu tertutup," ujar pengusaha itu.
Di Inggris sendiri, mantan duta besar Inggris untuk Uzbekistan, Craig Murray menyatakan, sangat buruk jika seorang pemimpin Kristen menyulut api Islamofobia. "Ada-ada saja mengatakan bahwa jilbab tidak ‘pantas’. Mengapa setiap orang harus sama dalam aturan berpakaian? Tak seorangpun yang melarang Dr Sentamu mengenakan jubah pendeta atau baju seperti ulama. Itu urusan dia," sambung Murray.
Pertanyaan kritis juga dilontarkan oleh seorang wartawan di Inggris Isla Rosser-Owen, apakah Uskup Sentamu berpikiran sama terhadap para biara yang juga menutup kepalanya seperti Muslimah yang berjilbab. "Dalam tatanan yang lebih tradisional, banyak dari para biara yang bukan hanya menutup kepalanya tapi juga hampir seluruh wajahnya. Apakah mereka juga akan melontarkan pernyataan sama?" tanya Rosser-Owen.
Seorang mahasiswi universitas di Inggris yang mengenakan cadar, Ayesha Muhammad menilai komentar Sentamu sebagai pembenaran politik yang "gila."
"Dia mengatakan melepas kalung salibnya saat masuk ke masjid, cukup adil. Tapi dia tidak diharapkan untuk melakukan itu dan tak seorang Muslim yang akan tersinggung jika dia tetap mengenakan kalung salibnya saat berada di masjid," tegas Ayesha.
Ia menambahkan,"Warga Muslim tidak meminta untuk mengubah negara. Mungkin ada kelompok minoritas yang menginginkan hukum syariah, tapi mayoritas hanya ingin bisa hidup sebagai seorang Muslim." (ln/arabnews)