Perang dan perlawanan kelompok anti pemerintah di Afghanistan, membuat banyak anak-anak usia sekolah kehilangan tempat belajarnya. Sekolah-sekolah mereka, utamanya sekolah-sekolah khusus untuk anak perempuan banyak yang diserang, dibakar dan dihancurkan.
Namun, hal itu tidak mengendurkan semangat siswi-siswi Afghanistan untuk mendapatkan pendidikan. Mereka tetap bersekolah meski harus diam-diam dan tempat belajarnya hanya berupa ruangan dalam sebuah rumah yang sederhana.
Sekolah yang berbasis di rumah-rumah kini banyak bermunculan di Afghanistan. Keberadaannya memang agak dirahasiakan dan kebanyakan yang belajar adalah pelajar puteri.
"Kami takut. Semua rumah yang dijadikan sekolah merasa takut. Bahkan jika saya mendengar suara anjing menggonggong, saya tidak akan membuka pintu gerbang. Saya naik ke lantai atas untuk melihat siapa di luar," tutur Muhammad Sulieman yang mengelola sekolah khusus untuk anak perempuan di beberapa desa di distrik Sheikhabad, provinsi Wardak.
Pada masa Taliban, pendidikan hanya ditekankan untuk anak laki-laki. Setelah Taliban jatuh, sekitar 5,1 juta anak-anak baik laki-laki dan perempuan, kembali mendaftarkan diri ke sekolah-sekolah umum. Termasuk sekolah-sekolah tenda yang didirikan oleh UNICEF di ratusan desa di Afghanistan.
Namun perlawanan Taliban terhadap pasukan AS dan Nato, menyebabkan sekolah-sekolah di beberapa provinsi tidak berfungsi. Menurut Presiden Afghanistan Hamid Karzai dalam sidang umum PBB di New York pekan ini, sekitar 200 ribu anak-anak Afghanistan terpaksa tidak bersekolah tahun ini, karena adanya ancaman dan serangan secara fisik.
UNICEF menyebutkan, sepanjang bulan Januari sampai Agustus, terjadi sekitar 106 serangan dan ancaman terhadap sekolah-sekolah di 31 provinsi di Afghanistan. Serangan itu antara lain saru serangan misil, 11 serangan bom, 50 aksi pembakaran sekolah dan 37 ancaman. Di empat provinisi di selatan Afghanistan yang menjadi sasaran serangan Taliban, hampir setengah dari 748 sekolah yang ada tidak beroperasi lagi.
Di Kandahar misalnya, semua sekolah yang ada di lima distrik di wilayah itu kini ditutup. Para penyerang kerap melemparkan granat lewat jendela sekolah dan mengancam akan melemparkan zat asam ke para siswi yang datang ke sekolah. Penutupan sekolah juga terjadi di tiga distrik di provinsi Helmand karena ancaman yang sama.
Perwakilan UNICEF di Afghanistan, Bernt Aasen dalam pernyataannya baru-baru ini mengatakan, kemajuan pendidikan di Afghanistan bisa mengalami kemunduran akibat ancaman dan serangan-serangan itu. Hal ini akan berdampak pada masa depan masyarakat Afghanistan sendiri.
Tapi hari ini, dengan munculnya rumah-rumah sekolah, anak-anak Afghanistan mencoba mengejar waktu belajarnya yang telah hilang. Meski di beberapa daerah pedalaman sekolah bagi anak perempuan masih kontroversi, anak-anak itu menunjukkan rasa hausnya akan ilmu.
"Masih banyak orang tua yang tidak menginginkan anak-anak perempuannya bersekolah, tapi kita terus bicara pada mereka sampai mereka puas," kata Mahmad Agul, seorang guru sekolah.
"Kami di sini serba kekurangan, jalan-jalan yang luas, energi listrik, sumur-sumur dan klinik. Tapi sekolah menjadi prioritas utama kami," sambungnya.
Seorang siswi bernama Gul Khanum,11, menuturkan bahwa orangtuanya yang petani tidak bisa membaca. Tapi ia berharap suatu hari bisa menjadi dokter. Sementara Nazia,10, yang pintar membaca puisi dalam bahasa Pasthun mengaku belum pernah pergi ke sekolah sebelumnya, tapi di rumah ia tetap belajar membaca.
"Sebelumnya, kami hanya duduk di tengah debu. Sekarang kami punya meja, kursi dan atap. Semuanya jauh lebih baik," imbuhnya. (ln/arabnews)