“Tingkat kemiskinan luar biasa sedang menimpa kami di Afghanistan. Karena itu, kami terpaksa menjual anak-anak untuk mendapat uang, agar kami bisa tetap bertahan hidup.”
Mungkin hampir tidak pernah terlintas di pikiran kita akan ada orang yang mengeluarkan kata-kata seperti ini. Tapi ini benar-benar terjadi. Dan yang mengatakannya adalah kaum Muslim di Afghanistan, negeri yang dahulunya menyandang gelar The Land of Syuhada, tanah air syuhada karena banyaknya para syuhada yang gugur saat tentara beruang merah Rusia menjajah negeri itu.
Ungkapan tadi ditirukan oleh Abdu Zahir, Kepala Dewan Kampung Housya yang terletak di sisi Barat Afghanistan. Ia mengutarakan kalimat itu untuk menggambarkan mayoritas penduduk kampungnya yang hidup dalam kemiskinan hebat akibat kekeringan dan mahalnya bahan makanan.
Menurut harian The Guardian terbitan Inggris (7/1), sejumlah kampung di Afghanistan memang mengalami krisis kemanusiaan yang luar biasa, di mana dari hari ke hari kehidupan warganya semakin buruk. Itulah yang menyebabkan sebagian mereka menjual anak-anak mereka, atau menikahkan anak perempuan mereka dalam usia masih kecil antara 8 tahun atau sepuluh tahun. Semuanya, dilakukan untuk memperoleh uang yang tidak banyak, tapi sangat diperlukan karena kondisi yang mendesak.
Abdu Zahir menggambarkan sisi lain krisis yang menimpa rakyat Afghanistan. Katanya, “Kami terpaksa menjual anak-anak atau menikahkan mereka dari kecil untuk dapat bertahan hidup. Kami tidak bangga dengan apa yang kami lakukan. Tapi kami justru sangat terpaksa melakukannya. Sebagian anak-anak kami meninggal karena buruknya ekonomi kami dan mereka tak bisa makan.” Ia menambahkan, kondisi tadi makin sulit dengan susahnya mendapatkan air untuk diminum atau untuk mengairi perkebunan mereka.
Zarbagol seorang petani Afghanistan, mengatakan, “Anak-anak kami ditimpa penyakit busung lapar karena kekurangan makanan. Kami khawatir mereka akan mati dalam kondisi seperti itu.”
Sambil menangis, ia menceritakan kondisi anaknya. “Kami memberi makan anak kami hanya dengan air hangat saja, ditambahkan dengan sedikit gula. Kami tidak punya sayuran untuk makanan mereka. Tahun lalu, kami masih memilikinya, tapi tahun ini kami sama sekali tidak mendapatkanya karena musim kering dan mahalnya harga kebutuhan pokok.”
Ia lalu mengatakan bahwa masyarakatnya sangat membutuhkan pertolongan. “Kami sangat memerlukan pertolongan untuk memberi makanan kami, keluarga kami dan hewan kami. Sekarang harga tepung sangat mahal sekali, ” katanya.
Sementara Jan Bayaab seorang pria usia 40 tahun menceritakan kepada The Guardian, “Saya memberi makan anak perempuan saya yang berusia 3 tahun, air hangat dengan sedikit gula, karena tidak ada lagi makanan lainnya.”
Alasan yang sama juga mereka kemukakan tentang pernikahan terlalu dini yang mereka lakukan kepada anak-anak perempuan, yaitu "untuk menutupi kelaparan." Saha Tagoul, seorang ibu usia 30-an tahun mengatakan, “Kami tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Tapi kami sekarang terpaksa menikahkan anak kami pada usia sangat kecil. Saya sendiri akan menikahkan anak saya semua dengan cara ini bila kondisi ini tidak berubah.”
Menurutnya, banyak keluarga yang menempuh cara ini. Untuk pernikahan seorang perempuan kecil Afghanistan, orang tua bia menerima bayaran sekitar 200 juneih.
Ada pula Najibullah pria usia 39 tahun yang menikahkan anaknya usia 8 tahun kepada seorang pemuda berusia 22 tahun, dan dibayar 3.000 dolar. Anak perempuannya yang bernama Sumayyah kini telah menikah, tapi ia sama sekali belum mengerti apa yang dilakukan orang yang sudah menikah.
Apa yang terjadi di Afghanistan saat ini, tidak lepas dari tindakan negara adikuasa AS yang menggempur Afghanistan sejak lima tahun lalu, pasca serangan WTC 11 September 2001, yang berbuntut pada penggulingan pemerintahan Taliban. Semua infrastruktur negeri yang sudah carut marut oleh perang penjajahan dan perang saudara itupun nyaris tak bersisa. Lalu, Barat datang dengan dalih membawa kesejahteraan dan pembangunan. Dan, inilah hasilnya. (na-str/iol)