Abu Noor, seorang pria berusia 22 tahun dengan aksen Amerika, wajahnya mudah tertawa dan bersikap tenang . “Aku seperti orang Barat biasa.”
Ia lahir di Perancis dan dibesarkan di Karibia oleh seorang ibu dan seorang ayah asal Islandia Eropa. Abu Noor dalam banyak cara seperti orang terpelajar dari Barat: mampu berbahasa 3 bahasa dan berpendidikan universitas.
Tapi dia bukan orang Barat biasa. Ternyata Abu Noor adalah simpatisan kelompok jihad yang memproklamirkan diri sebagai kekhalifahan dari Daulah Islam (IS) di Irak .
Dia berkeinginan menjadi seorang calon pejuang asing , walau belum pernah berjuang: ia kini masih seorang mahasiswa. Dia pemuda yang menginginkan memakai rompi bahan peledak dan bertopeng hitam, tetapi pada saat ini dia hanyalah seorang pria yang naik metro dan membuat makalah untuk diselesaikan setiap hari Jumat.
Abu Noor dan laki-laki muda lainnya di Eropa dengan cepat termotivasi akan hadirnya Daulah Islam (IS).
Faisal Devji, seorang sejarawan Oxford University yang mengkhususkan diri dalam studi Islam, globalisasi dan kekerasan, mengatakan , “Daulah Islam tidak ingin bergabung dengan sistem internasional. Mereka ingin keluar dari sistem itu. ”
Charles Lister, dari Brookings Doha Center dan ahli tentang dunia Islam, mengatakan . “Afiliasi Al-Qaeda dan kelompok-kelompok jihad independen harus memilih untuk mendukung dan bergabung dengan Daulah Islam atau untuk menentangnya.”
Pada tingkat akar rumput, militan muda Eropa berbicara tentang pilihan membela pejuang Muslim Sunni, yang mereka yakini telah lama ditekan oleh pemerintah Syiah Irak , kelompok-kelompok bersenjata Syiah, yang berdiri sebagai penindas. Mereka mendapatkan angin segar dan menemukan jalan solusi setelah kehadiran Daulah Islam.
Abdul Malek, usia dua puluh tahun , lulusan IT dari negara Teluk mengatakan bahwa dia menunggu kesempatan untuk pergi ke Daulah Islam dan berjuang untuk itu. Dia menyebutkan kekerasan yang disponsori oleh pemerintahan Assad di Suriah sebagai titik balik terhadap perkembangan militansi Islam.
“Tadinya saya netral tentang kelompok-kelompok jihad. Tapi ketika tragedi Suriah terjadi, dan semua tergambarkan akan kekejaman rezim Suriah. Dan ketika saya melihat gambar-gambar mengerikan di Twitter, saya menjadi sulit makan pada hari itu. Hatiku bergetar. ”
Dari sini ada langkah singkat untuk mendukung kelompok jihad di Suriah , kini ia percaya yang mampu menentang kekerasan rezim itu adalah Daulah Islam . “Rezim Syiah terus menindas Muslim, dan tak seorang pun mengatakan sepatah kata pun tentang hal itu, dari sini timbul semangat jihad” kata Abdul Malek.
Abu Noor, mengatakan bahwa semangat jihad itu berawal dari kematian Osama Bin Laden. “Saya tidak benar-benar setuju dengan al-Qaeda, tapi melihat cara semua non-Muslim yang berpesta di jalan-jalan pada saat kematiannya, membuat saya berpikir, kenapa dengan aku di sini? Kenapa Aku tidak bisa bersikap netral lagi? ”
Seperti Abdul Malek, ketika perang pecah di Suriah dan tersebar melalui media sosial, dia tidak bisa lagi hanya menjadi netral. “Ketika Anda melihat gambar-gambar, anak-anak berdarah merangkak di jalan-jalan Homs, Tentara Suriah mengubur orang hidup-hidup, tidak ada jalan lain kecuali melawan,” katanya.
Abdallaah seorang mualaf berusia 19 tahun , ia dibesarkan oleh keluarga ateis di negara Skandinavia . Meskipun orang tuanya yang Ateis mendukungnya beralih ke Islam, tetapi orang tuanya tidak mendukung apa yang dia sebut “perubahan dalam metodologi militansi” nya.
“Saya melihat apa yang orang katakan tentang Daulah Islam, dan kemudian aku melihat apa yang terjadi sesungguhnya ,” katanya, mengacu pada kekerasan Daulah Islam terhadap faksi-faksi jihad yang berbeda di Suriah. “Saya melihat bahwa apa yang orang katakan adalah kebohongan. Jadi saya tolak dan saya memutuskan untuk bergabung dengan Daulah Islam. ”
Untuk saat ini, Abdallaah melakukan upaya perjalanan ke Suriah tetapi terhambat oleh dinas intelijen di negaranya, yang terus mengamatinya “karena mereka tahu Abdallaah ingin pergi”.
Abu Bakr al Janabi, pemuda asal negeri Skandinavia juga mengatakan , “Saya tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan hukum. Tetapi jika saya berada di Inggris atau Belgia atau Belanda atau Perancis, akan menjadi cerita lain, “katanya. “Aku tahu seberapa jauh aku bisa pergi.”
“Sekarang , ketika orang menanyakan , ‘dari mana kau ?’ yang bisa saya katakan, saya dari kekhalifahan,” kata al Janabi, yang telah menghabiskan separuh hidupnya di Irak dan separuhnya di Skandinavia. “Saya memiliki kewarganegaraan Irak, tapi di masa depan kami adalah memiliki kewarganegaraan Daulah Islam.”
‘IS tidak pernah membunuh warga sipil, wanita atau anak-anak’Tambah Al Janabi.
“IS tidak pernah membunuh warga sipil, wanita atau anak-anak. Ia katakan yang banyak dipublikasikan adalah penyaliban yang dilakukan oleh daulah Islam , ia beritakan penyaliban itu dilakukan hanya kepada pelaku pengkhianatan, dan benar-benar mereka hanya dieksekusi dengan senjata dan ditempatkan di papan – tidak ada siksaan yang terjadi “.
—
Jonathan Peste, kepala kontra terorisme Security Service Swedia, “Kita tahu bahwa setidaknya 80 orang telah melakukan perjalanan dari Swedia ke Suriah untuk bergabung dengan berbagai kelompok al-Qaeda dalam pertempuran, dan ada informasi yang belum dikonfirmasi bahwa jumlah sebenarnya jauh lebih tinggi,” katanya.
“Tapi itu berada di luar kewenangan kami untuk menghentikan orang-orang ini , atau mendukung ideologi tertentu. Kami hanya melindungi sistem demokrasi dan hak-hak dan kebebasan warga negara kita.” (MEE/Dz)