Darah di Ghaza Menyatukan Pendukung Hamas dan Fatah

Galau bukan kepalang, Husam mendengar berita tentang roket Israel yang jatuh menghantam rumah salah seorang kerabatnya di Ghaza. Ia pun tergerak dan berangkat ke lokasi guna melihat langsung kondisi keluarganya. Ia lalu duduk sedih mendampingi enam orang keluarganya yang sudah menjadi mayat.

Husam, salah satu dari anggota sayap keamanan Fatah yang menetap di Ghaza. Sejak Juni 2007, seiring dengan pecahnya krisis antara Hamas dan Fatah. Masing-masing kelompok tidak saling menegur, dan cenderung berdiam serta asyik dengan kesibukannya sendiri-sendiri. Husam sendiri, tak pernah lagi bertegur sapa dengan sesama rakyat Palestina yang dikenal sebagai pendukung Hamas.

Tapi hari itu, ia “tepaksa” menyambut kedatangan tamu Hamas yang turut berduka cita atas kematian keluarganya. Ia pun menyalami tangan rakyat Palestina di Ghaza yang datang untuk meringankan kepedihannya. Husam sebelumnya benar-benar menyendiri di rumah, dan hanya sedikit sekali berinteraksi dengan masyarakat sekitar. Husam mungkin takut bila ada mata-mata yang bisa menudingnya menjalin hubungan baik dengan orang-orang Hamas, lalu ia tidak mendapat honor dari pemerintah Palestina yang dikuasai Fatah. Apalagi memang tidak sedikit rekan-rekannya yang diputus gaji bulanannya karena tuduhan seperti itu.

Namun, keadaannya menjadi lain, setelah kurang lebih satu pekan lalu Israel membakar Ghaza secara membabi buta. Menghanguskan kebun-kebun hijau, menghancurkan rumah-rumah dan membunuh ratusan rakyat sipil di Ghaza, di tambah ratusan mereka yang terluka parah. Sejak itu orang-orang Fatah dan Hamas di Ghaza seperti mendapatkan momentum untuk saling berinteraksi dengan baik. Korban asal Hamas, diiringi prosesi pemakamannya oleh orang-orang Hamas dan Fatah. Begitupun korban asal Fatah, prosesi pemakamannya diiringi oleh orang-orang Hams dan Fatah. Mereka juga saling kunjung, dan memberikan ucapan turut berduka. Tak ada lagi yang membedakan ini Hamas dan ini Fatah.

Seorang pemuda bernama Kamal, adalah tokoh Fatah di Ghaza. Tapi ia juga datang mengunjungi tetangganya yang berafiliasi kepada Hamas. Kamal bahkan mempersilahkan keluarga Hamas itu untuk tinggal di rumahnya, karena rumah mereka telah hancur oleh roket Israel. “Kami memang sudah harus saling berbagi duka bagi keluarga para syuhada, saling membantu bagi yang terluka. Setiap kami dalam kesedihan dan kedukaan yang sama, ” ujarnya.

Pemuda Fatah yang lain, bernama Aziz, sambil duduk di salah satu rumah korban yang nyaris hancur berkata lirih, “Jika kita tidak bisa disatukan dengan darah dan luka parah ini, apalagi yang bisa menyatukan kita? Ini waktu yang sangat tepat sekali untuk mempersatukan kita, menghilangkan perbedaan apapun, ” ujarnya.

Seorang tua lainnya, Haji Abu Ghaleb, mengatakan, “Bersama perasaan duka yang luar biasa ini di Ghaza, tapi kami merasakan bahagia, dan hati kami menjadi tenang karena menyaksikan kondisi kota yan bersatu. Semua harapan bisa bermula dan berkembang dari sini.”

Di Ramallah, pusat pemerintahan Palestina di Tepi Barat, para pegawai dan pekerja serta semua penduduk umumnya keluar ke jalan-jalan. Mereka membawa bendera kuning, hijau dan merah, menggambarkan persatuan antara Hamas dan Fatah. Seorang murid sekolah di Al-Khalil mengatakan, “Dari anak-anak Al-Khalil untuk anak-anak di Jabaliya Ghaza, kami membawa kesucian sebagaimana darah kami yang suci.”

Ini adalah pemandangan yang tak pernah terjadi sebelumnya. Maka, bersatulah Hamas dan Fatah. Semoga Allah mengembalikan kekuatan bangsa Palestina. (na-str/iol)