Tunisia adalah Negara pertama yang memicu pemberontakan musim semi Arab. Sebagian besar rakyat Tunis menolak kudeta atas Mohamed Mursi di Mesir. Partai Ennahda Islam, yang memimpin pemerintah koalisi yang mengakomodasi juga dua partai non-agama dalam pemerintahannya , menggambarkan tersingkirnya Mursi sebagai “kudeta mencolok terhadap legitimasi demokratis”, dan sikapnya terlihat lebih keras sejak terbunuhnya lebih dari 53 pengunjuk rasa pada hari Senin.
Pemerintah yang dikuasai Ikhwanul Muslimin Tunis ini telah melalui masa sulit ketika ketidakstabilan politik di awal tahun ini yang disebabkan isu pembunuhan politisi sayap kiri Chokri Belaid yang diusung pihak sekuler untuk menjatuhkan pemerintahan terpilih . pemerintahan Islam Tunisia inilah yang pertama diganngu oleh pihak sekuler, tetapi dampak tekanan sekuler tersebut Partai Ennahda akhirnya membuka diri dengan memasukkan 12 teknokrat independen dalam posisi kementerian, menangkis tuduhan bahwa aliansi Islam tidak bisa berbagi kekuasaan.
Beberapa pihak sekuler Tunisia menyambut penggulingan Mursi, dan berdasarkan kejadian di Mesir , mereka berupaya untuk meniru Tamarod Mesir, gerakan akar rumput yang mengusung protes anti-Mursi. Tapi hanya sedikit massa yang mengindahkan panggilan dari mantan tokoh-tokoh rezim Tunisia yang ingin menggoyang pemerintahan Islamis Tunisia .
Menteri Sosial Tunisia , Khalil Zaouia, dari partai kiri Ettakatol, mengatakan , “Di Tunisia, tidak ada pihak yang bisa mengatakan ‘Saya memiliki semua kekuatan’, seperti yang terjadi di Mesir di mana Mursi telah mengeluarkan dektrit bahwa semua otoritas ditangannya. Disini kita sudah memiliki konsensus antar pihak partai politik, dan itu telah meyakinkan publik,” katanya.
“Ini akan membantu kami bahwa Ikhwanul Muslimin tidak memiliki citra yang baik sekarang,” kata Kauther Zweri, tokoh sekuler yang sering berkampanye untuk mendukung dua blogger Tunisia penista agama yang dihukum tujuh tahun penjara atas tuduhan penghujatan agama . “Sekarang adalah jendela kesempatan, waktu untuk bergerak,” katanya. (Guardian/Dz)