“Coca Cola dilarang. Pepsi dilarang. Sirup Ghaza yang lebih enak dan berkualitas. ” Itu bunyi tulisan yang digantungkan oleh Abu Mahmud Murad di atas lemari es yang berisi berbagai soft drink dan sirup di tokonya, di Ghaza.
Tulisan itu menggambarkan bahwa di dalam kulkasnya tidak lagi tersedia soft drink import, dan hanya berisi sejumlah minuman yang merupakan produk lokal.
Pasar-pasar di Ghaza kini memang sepi dari berbagai produk import, bahkan juga sangat sedikit dijual produk Tepi Barat. Penduduk Ghaza mencukupkan diri dengan menjual produk-produk lokal termasuk soft drink yang mereka buat sendiri untuk dijual. Itu adalah bagian dari isolasi dan embargo yang diterapkan Israel dan Tepi Barat terhadap Ghaza. Isolasi itu melarang masuknya semua barang dan produk apapun ke Ghaza, kecuali hanya bahan makanan pokok untuk sekedar bertahan hidup.
Abu Mahmud, pemilik toko, mengatakan, “Pasar-pasar Ghaza sekarang sama sekali tidak menjual permen, biskuit, soft drink yang biasanya diperoleh dari luar Palestina dan luar Ghaza. Karenanya, kami mengisi barang-barang yang menyerupai hal itu di dalam toko, yang tidak kalah kualitasnya tapi memang harganya agak mahal karena memang bahan bakunya sulit diperoleh. ”
Ia menjelaskan lagi, bahwa kue-kue yang dijualnya diambil dari pabrik kue yang ada di Ghaza. Menurutnya pabrik-pabrik itu kini mengalami peningkatan produksi mengingat dalam lima bulan terakhir nyaris tidak ada lagi pesaing mereka di pasar-pasar Ghaza.
Boleh jadi, fenomena ini merupakan salah satu contoh benarnya sebuah istilah “Musibah yang menimpa satu kaum bisa menjadi manfaat bagi kaum yang lain. ” (na-str/iol)