Beginilah kalau berniaga tidak lagi mengindahkan halal-haram ataupun maslahat dan mafsadat bagi kaum Muslimin. Yang penting dapat uang dan beruntung – persetan dengan yang namanya haram atau halal atas bisnis yang dilakukan, seperti yang dilakukan oleh sebagian pedagang Muslim Palestina ini.
Dari sekian banyak cinderamata dan aksesoris khas Yahudi-Israel yang dijajakan di kawasan wisata di kota kuno Jerusalem, ternyata barang-barang tersebut diproduksi dan didagangkan oleh banyak pedagang dan pengusaha Muslim-Palestina.
Hal ini bisa jadi merupakan sebuah ironi. Pasalnya hal tersebut terjadi dan berlangsung di tengah-tengah rakyat Muslim Palestina, khususnya mereka yang tinggal di kawasan kota Jerusalem, yang terus berjuang untuk mempertahankan kota suci tersebut dari upaya "pembangunan dan Yahudisasi" yang terus digencarkan oleh pemerintahan Israel, serta mempertahankan identitas keislaman dan kearaban kota tersebut.
Bagi para pelancong yang mengunjungi Jerusalem, mereka akan dengan mudah mendapatkan aksesoris-aksesoris tiga agama, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam, yang dijual dalam satu toko dan tempat yang sama. Para wisatawan akan menemukan kopyah tarbus khas Arab, serban khas Palestina, patung al-Masih dan Bunda Maria atau Sant Helena, serta bintang Dawud, bendera Israel, dan lilin suci dipajang dan dijual secara bersamaan di kios-kios milik pedagang Muslim.
Berbagai macam aksesoris dan simbol-simbol terebut ternyata juga banyak diproduksi oleh pihak Muslim Palestina. Mayoritas barang-barang dagangan itu diproduksi di Tepi Barat.
Di beberapa rumah produksi di Tepi Barat itu, sebuah rumah produksi bisa memproduksi dua kaus secara bersamaan, yang satu kaus bernuansa Muslim Palestina bertuliskan "Ba Hebbak Filasthin" (I Love U Palestine), sementara yang lain bernuansa Yahudi dan bertuliskan "Jaysh ad-Difa’ al-Israily" (Israel Army).
Khalid as-Salfiti, salah seorang pedagang Muslim di bilangan kota tua Jerusalem yang juga menjual kesemua barang tersebut menyatakan, kawasan tempatnya berjualan adalah kawasan wisata. Para pengunjung dan pembeli yang datang ke kiosnya bukalah dari unsur Muslim saja.
"Kami tidak mau ambil pusing dengan urusan-urusan politik yang memusingkan dan memuakkan. Saya berjualan di kawasan wisata. Di antara para wisatawan yang berkunjung ke kios saya adalah orang-orang Yahudi dari negara-negara asing. Mereka kerap membeli aksesoris Yahudi-Israel," tutur as-Salfiti.
Ditambahkan as-Salfiti, di kawasan wisata tempatnya berdagang, bisa dikatakan hampir mayoritas pedagang Muslim Palestina menjual cindera mata khas Yahudi-Israel.
"Namun bukan berarti dengan menjajakan barang-barang tersebut kami mendukung Israel. Dan perlu diingat juga, kami pun menjajakan aksesoris-aksesoris khas Palestina, lebih banyak dari aksesoris Yahudi-Israel" terang as-Salfiti.
Sementara itu, Abu Muhammad, salah seorang juru agama di kawasan, menyayangkan fenomena tersebut. "Jualan aksesoris Yahudi-Israel itu haram," katanya.
Pendapat Abu Muhammad juga ditegaskan oleh Syaikh Muhammad Husain, mufti Yerusalem. "Tidak diperbolehkan menjual dan memproduksi aksesoris dan simbol-simbol yang tidak ditetapkan oleh akidah Islam. Berjualan barang-barang seperti itu sama dengan berjualan khamr dan daging babi," tutur Husain.
Terlepas dari fatwa sang Mufti, barangkali para pedagang itu memiliki jalan pikirannya sendiri. Entah apakah karena mereka memang memakai logika dagang dan yang penting mendatangkan uang, entah dialog antar agama dan peradaban, entah karena terpaksa, atau yang lainnya. (L2/aby)