Terkait dengan aturan ini, pengacara hak Uighur-Amerika, Nury Turkel, langsung angkat bicara. Turkel pun membeberkan bahwa aturan ‘haji ilegal’ atau tanpa izin pemerintah sebenarnya telah diterapkan oleh Beijing sejak 2015 lalu.
Karena inilah, Turkel lebih menyoroti aturan lain, yaitu masalah pendidikan patriotisme. Pasalnya, menurut Turkel, aturan itu telah membuka celah bagi China untuk memilih-milih peserta haji.
Dengan kata lain, hanya jemaah yang ‘patriotik’ dan ‘taat hukum’ lah yang bakal boleh menunaikan haji.
“Aturan tersebut telah memberlakukan ujian politik bagi umat Islam yang ingin pergi haji. Sangat mungkin bahwa pemerintah mendiskriminasi kelompok Muslim tertentu karena ujian politik ini, khususnya Muslim Uighur,” ucap Turkel.
Pernyataan hampir serupa juga disampaikan oleh Shih Chien-yu, seorang dosen hubungan Asia Tengah di Universitas Nasional Tsing Hua Taiwan.
Shih lantas menjelaskan bahwa aturan haji baru tidak lain adalah bentuk lain dari kontrol politik Beijing atas urusan agama. Shih menambahkan bahwa China mungkin sangat khawatir jika selama perjalanan haji, muslim China bakal terpengaruh pembelajaran atau praktik Islam lain dari luar.
“Selama haji, mereka bertemu Muslim dari seluruh dunia, bertukar pengalaman dan saling memengaruhi.
“Beberapa Muslim yang kembali setelah menunaikan haji membawa pulang pengalaman mereka dan mengkritik ulama China setempat, dan lalu menyebabkan masalah.
“Ajaran yang melawan versi Islam yang disetujui negara China dapat menyebabkan masalah dan menantang kebijakan ‘Sinofikasi agama’.
“Partai Komunis tidak terlalu khawatir tentang orang-orang yang pergi sendiri. Yang mereka khawatirkan adalah dampak yang ditimbulkan setelah mereka kembali,” ujar Shih.(gr)