Keterlibatan AS dalam aksi serangan militer Pakistan ke sebuah madrasah di dekat perbatasan Afghanistan beberapa waktu lalu, makin menguat. Yang lebih memprihatinkan, serangan itu terbukti akibat informasi yang disampaikan AS pada Pakistan, ternyata tidak benar. Tragedi ini terjadi tidak lepas dari operasi rahasia AS di Pakistan dalam memburu anggota Al-Qaidah dan Taliban yang paling ditakuti AS.
Sejumlah pejabat intelejen Pakistan mengungkapkan, serangan ke madrasah yang menewaskan 80 orang itu berdasarkan pada informasi yang diberikan para intelejen AS pada Pakistan, yang belum dibuktikan kebenarannya atau tanpa disertai bukti berupa foto satelit.
"Informan-informan lokal yang dibayar oleh badan intelejen AS telah memberikan informasi yang salah pada AS tentang keberadaan Ayman al-Zawahiri," ungkap seorang intelejen senior yang tidak mau disebut jati dirinya pada situs Islamonline.
Sumber-sumber intelejen itu juga mengungkapkan, tidak ada bukti berupa foto satelit atau bukti-bukti lainnya yang disertakan AS tentang kehadiran orang nomor dua Al-Qaidah dan anggota-anggota Al-Qaidah lainnya di madrasah yang menjadi sasaran serangan tersebut.
Pemerintah Pakistan sendiri, tanpa meneliti kembali informasi dari AS, langsung mengerahkan pasukan militernya untuk menyerang madrasah itu pada Senin (30/10) yang menewaskan 80 orang.
Pemerintah Pakistan mengklaim semua korban tewas adalah anggota kelompok militan dan telah dilatih untuk melakukan serangan di Pakistan dan Afghanistan. Namun sumber-sumber lokal dan sumber-sumber di pemerintahan Pakistan-yang tidak mau disebut jati dirinya-mengatakan, korban tewas adalah anak-anak berusia antara 8 sampai 15 tahun.
Salah satu dari tiga santri yang selamat dalam serangan itu mengungkapkan, "Sedikitnya ada 20 anak antara 8 sampai 15 tahun" di antara 80 korban tewas.
"Kami tidak pernah melihat Ayman al-Zawahiri atau orang asing manapun di sana. Kami hanya menghapal Al-Qur’an di sana," kata Abdul Rahman,16, yang dirawat di Rumah Sakit Peshawar karena hampir 70 persen tubuhnya terbakar terkena bom.
Ia mengatakan, ketika serangan terjadi, para santri sedang bersiap-siap untuk melaksanakan sholat subuh.
Bukti bahwa banyak anak-anak yang menjadi korban dalam serangan ke madrasah itu, juga diungkapkan oleh mantan pejabat pemerintahan provinsi NWFP yang memimpin pemakaman para korban.
Bahkan laporan-laporan dari wilayah Bajur menyebutkan ada lima anak dari satu keluarga yang tewas dalam serangan bom itu.
Penduduk lokal termasuk anggota dewan nasional di Pakistan, Maulana Harun Rashid menuding serangan ke madrasah di perbatasan Pakistan-Afghanistan itu sebenarnya dilakukan oleh militer AS bukan Pakistan.
Sumber-sumber intelejen mengungkapkan, mereka menerima banyak laporan bahwa sebuah pesawat AS terbang di atas madrasah beberapa menit sebelum serangan terjadi.
Kongkalingkong Pemerintah Pakistan-AS
Pertanyaan-pertanyaan seputar mengapa pihak intelejen Pakistan tidak meminta bukti atas informasi yang disampaikan AS, dijawab oleh Pakistan sebagai upaya untuk mencegah AS agar tidak melakukan serangan itu, yang akan mempermalukan pemerintah Pakistan.
"Jika kami tidak cepat mengambil tindakan, maka pasukan AS yang akan melakukannya," kata juru bicara militer Pakistan, Mayor Jenderal Shaukat Sultan, satu hari setelah kejadian di Damadola.
Pemerintah Amerika memberikan pujian pada Pakistan atas serangan ke madrasah itu. Sumber-sumber intelejen mengatakan, setelah serangan brutal ke madrasah, Islamabad dan Washington sepakat bahwa AS akan menjadi pemasok informasi ke Pakistan tentang gerakan pemimpin maupun anggota Al-Qaidah di Pakistan dan militer Pakistan yang akan mengambil tindakan atas informasi tersebut.
Namun atas kesalahan informasi AS yang telah menimbulkan serangan ke madrasah di Damadola, seperti biasanya pihak AS hanya menyatakan minta maaf dan menolak untuk lebih menahan diri tidak melakukan serangan serupa di masa datang. AS malah bersikeras akan tetap melanjutkan perburuan terhadap anggota-anggota Al-Qaidah di manapun berada.
Kelompok Laba-Laba
Sejak tiga tahun lalu, FBI mengorganisir apa yang dikenal dengan "Kelompok Laba-Laba" beranggotakan sejumlah anggota militer Pakistan, warga Muslim dan Kristen serta aparat intelejen, untuk mencari informasi tentang lokasi para pelarian anggota Al-Qaidah dan Taliban yang dicurigai bersembunyi di wilayah-wilayah pedalaman sepanjang perbatasan Pakistan-Afghanistan.
Kelompok Laba-Laba yang berbasis di Peshawar, kebanyakan anggotanya adalah para pensiunan militer Pakistan, bahkan ada yang berpangkat tinggi seperti Brigadir dan Kolonel.
Awalnya, tugas kelompok Laba-Laba ini hanya mengawasi berbagai acara yang melibatkan massa yang besar dan seminar-seminar, utamanya orang-orang yang menjadi pemuka di Jamaah Ulama Islam (JUI) dan dikenal dekat dengan para pemimpin Taliban.
Selanjutnya, kelompok itu diminta untuk merekrut penduduk lokal di daerah-daerah pedalaman, yang diyakini FBI terdapat banyak pelarian al-Qaidah dan Taliban yang dilindungi oleh tokoh-tokoh adat setempat.
Anggota kelompok Laba-Laba ini, dilatih dan dipersenjatai oleh FBI. Mereka juga fasih berbahasa Pustho, bahasa yang digunakan penduduk di provinsi NWFP (North-West Frontier Province), Pakistan. (ln/iol)