Bagi Presiden AS George W. Bush, mengkhianati sekutunya adalah hal yang biasa asalkan ambisinya tercapai. Itulah yang dilakukannya terhadap negara Pakistan, yang selama ini menjadi sekutu dekat AS dalam "perang melawan teror."
Diam-diam, Bush memberi lampu hijau pada Pasukan Operasi Khusus AS untuk melakukan operasi militer di wilayah Pakistan meski tanpa persetujuannya.
Hal tersebut diungkap oleh seorang pejabat senior AS yang menolak disebut jati dirinya, pada New York Times edisi Kamis (11/9). Menurutnya Bush mengeluarkan perintah rahasia itu pada bulan Juli lalu dengan alasan tidak bisa mentolerir situasi di pedalaman-pedalaman Pakistan.
"Kami harus lebih tegas, perintah udah dikeluarkan, " kata pejabat tadi.
Berdasarkan perintah itu, AS hanya akan memberitahu pada Pakistan bahwa pasukannya akan melakukan serangan ke wilayah Pakistan, tapi tidak akan meminta izin pada Pakistan dalam melakukan serangan itu. Salah satu operasi berdasarkan kebijakan Bush ini adalah operasi komando ke sebuah desa di Waziristan minggu lalu.
Penyerbuan ke desa itu, menurut laporan, melibatkan lebih dari dua lusin pasukan elit AS Navy Seals. Tim serbu itu selama beberapa jam melakukan operasi militernya dan membunuh hampir 20 orang yang diklaim sebagai para pejuang kelompok militan. Setelah puas "membantai" warga Pakistan, pasukan elit AS itu kabur dengan menggunakan helikopter tempur.
Islamabad memprotes serangan-serangan pasukan AS ke wilayah Pakistan yang banyak menimbulkan korban di kalangan masyarakat sipil. Namun, pejabat AS lainnya pada New York Times mengatakan bahwa pemerintah Pakistan mendukung konsep serangan AS secara terbatas ke wilayah Pakistan, namun tidak menyebutkan secara spesifik pejabat Pakistan yang memberikan dukungan itu.
AS, lewat CIA nya selama beberapa tahun ini menembakkan misil-misilnya ke wilayah Pakistan dengan menggunakan pesawat tanpa awak Predator. Meskipun selama ini berlaku pembatasan ketat terhadap operasi-operasi ke wilayah negara yang menjadi sekutu AS. Paling tidak, jika operasi militer akan dilakukan harus atas izin pemerintah AS. Sejauh ini, menurut New York Times, belum jelas lembaga legal mana di AS yang memberikan pengesahan atas kebijakan Bush tersebut. (ln/iol)